Minggu, 29 November 2009

Bagi Semua Pihak di Pendidikan Terutama Pemerintah (Depdiknas)



Pendidikan Regular Gratis vs RSBI-SBI di Indonesia
Di Sarikan Oleh : Ashwin Pulungan

     Selalu dikatakan bahwa Pendidikan yang dilaksanakan tidak gratis saja kualitasnya sangat rendah apalagi pendidikan di gratiskan. Pendidikan gratis yang dilaksanakan Pemerintah dimaksudkan untuk merealisasikan UUD ’45 yang mewajibkan pendidikan bagi warga negaranya.
     Pendidikan adalah investasi masa depan. Kalau suatu Bangsa ingin memajukan, merubah kualifikasi bangsanya, maka pendidikanlah sebagai kunci jawabannya. Rakyat yang ada disuatu negara, bisa terdiri dari bersuku-suku bangsa dan rakyat adalah anak bangsa, maka pantaslah bila masing-masing anak bangsa mendapatkan pendidikan dari Negaranya. Anak bangsa inilah suatu saat yang akan membuat perubahan kemajuan dan mengangkat harkat martabat citra bangsanya.
     Suatu wilayah Negara memiliki potensi SDA (Sumber Daya Alam) bila memiliki SDM berkualitas, bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Pendapatan Negara dari beberapa potensi kemampuannya serta produktifitasnya, harus diutamakan untuk tujuan pembiayaan Pendidikan Nasional disamping pembiayaan sektor penting lainnya.

     Pendidikan gratis yang akan dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2010 wajib kita sambut dengan gembira, walaupun pada pelaksanaannya perlu pembenahan sektor pendidikan kita diberbagai bidang. Pendidikan gratis itu sebenarnya harus dilaksanakan secara berkualitas setara dengan pendidikan bertaraf Internasional sejak dari SD, SMP, SMA dan PT. Dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini, sudah harus dihilangkan apa yang kita dengar selama ini SBI (sekolah bertaraf Internasional) tren para kepala sekolah saat ini ada upaya keras untuk menghindar dari pendidikan gratis kearah SBI. SBI ini dijadikan pelarian untuk memeras para murid dan orang tua murid dengan predikat Internasional, padahal para gurunya kualifikasinya sangat lokal dan tidak bertaraf Internasional, kalau hanya bahasa pengantarnya berbahasa inggris, pantas kita tertawakan SBI ini. Dalam pelaksanaannya, SBI menemui berbagai kendala. Contoh: konsep yang tidak jelas, penguasaan bahasa Inggris bagi guru yang mengajar hard science (Kimia, Fisika, Biologi), dll. Kendala-kendala tersebut menambah panjang deretan masalah SBI yang ditemukan di beberapa daerah. SBI lebih terlihat sebagai program pemerintah yang ‘menghabiskan’ banyak dana padahal belum jelas output yang dihasilkan.

Untuk Perhatian Semua Pihak Terutama Pemerintah



RSBI-SBI Dipacu-paksa Dana hingga Rp 550 Juta

Pemerintah : Pemerintah terus memacu sekolah-sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) untuk selalu berbenah. Bukan hanya mewajibkan sekolah RSBI konsisten menerapkan kelas internasional, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga memberikan suntikan dana.
Rakyat : Kenapa pemerintah begitu sangat bersemangat untuk menerapkan SBI yang dananya dari Rakyat, bukannya dana tersebut untuk memperbaiki sekolah regular yang telah ada sehingga sekolah regular setara kualifikasinya dengan Internasional. Diduga kuat peluang besar adanya manipulasi ditingkat Depdiknas dengan Dinas Pendidikan setempat dan para Kepala Sekolah.
Pemerintah : Desakan supaya RSBI tidak lagi membuka kelas regular menurut Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Depdiknas, Prof Suyanto PhD, merupakan langkah pemerintah untuk memotivasi RSBI. “Sebenarnya itu juga disesuaikan dengan kesiapan sekolah,” ujar Suyanto saat sidak di SMPN 3, Kamis (23/4).

Kamis, 26 November 2009

Bahan Masukan Untuk Pemerintah


BHMN menghambat Warga Negara Indonesia Terdidik Dan Merupakan Neoliberalisasi Pendidikan Nasional

 Pengalihan status sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), adalah bentuk lain dari neoliberalisme di bidang pendidikan. Dengan pendekatan neoliberalisme itulah, pemerintah secara sadar dan sistematis menutup akses orang miskin untuk menikmati pendidikan dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD) sekolah Menengah sampai perguruan tinggi.

Penegasan itu dilontarkan pakar pendidikan Prof HAR Tilaar dalam percakapan dengan Pembaruan di Jakarta, Kamis (15/3). Dia menegaskan, sejak awal menolak pembentukan BHMN pada PTN, karena napasnya mengabaikan semangat dan nilai-nilai UUD 1945.

Dikatakan, BHMN tersebut telah melengkapi luka orang miskin, yang tertutup aksesnya mengenyam pendidikan, karena selama ini sistem pendidikan nasional secara umum telah mengarah pada neoliberalisme. Munculnya sekolah-sekolah internasional mulai dari TK sampai SMA dengan biaya yang begitu mahal, telah menutup peluang orang miskin mendapatkan pendidikan, meskipun secara konstitusi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.