Terapkan Pendidikan di Indonesia Secara Berkeadilan, terjangkau, dibiayai Pemerintah dan wajib Kepada Semua Warga Negara Indonesia Sesuai Dengan UUD 1945
Guru
Kini Bukan Guru, Tapi Pengajar Dangkal Wawasan
Tidak selamat
hari guru Nasional.
Masih rendahnya nilai kualitas-moral guru saat ini, kita sebenarnya tidak
pantas memperingati hari Guru. Mayoritas dari guru kita yang ada di wadah formal
pendidikan dasar, menengah dan atas, adalah guru yang memanfaatkan jabatan
keguruannya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Coba lihat gaya
kehidupan para guru tetap sekarang ini (bukan guru honorer), mereka selalu
menampakkan pola gaya hidup yang konsumtif dengan berbagai cara pamer pemilikan
barang-barang mewah serta kendaraan. Terutama pada gaya kehidupan para Kepala
Sekolah dan petinggi lainnya disekolah. Hal ini bisa terjadi karena pola
rekrutmen yang terjadi pada setiap kepala dinas diberbagai daerah adalah
didasarkan dengan transaksi uang untuk bisa menduduki jabatan tertentu yang
basah di sekolah. Budaya main uang haram sudah sangat lama berjalan disetiap
Dinas Pendidikan kita termasuk berbagai manipulasi lainnya.
Mahalnya Biaya Masuk PTN, Dimana Tanggung Jawab Pemerintah?
(Potret Suram Pendidikan Akibat Pendiktean Liberalisasi)
DR. Yasir Ibrahim -LS DPP HTI
Pendahuluan
Berbagai model penerimaan mahasiswa baru di beberapa Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) di Indonesia, terutama yang dulu berstatus badan hukum milik negara
(BHMN), berubah menjadi BLU (Badan Layanan Umum) hampir sama cuma membedakan
tata kelola keuangan separuh disetor ke pemerintah masuk kas negara dan separuh
masuk ke kas Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Dengan BLU ini tetap biaya
mahal sehingga keluhan berbagai kalangan lantaran sudah memberatkan mahasiswa
karena biayanya sangat tinggi. Beragam nama pun muncul, mulai dari jalur umum,
jalur khusus, jalur prestasi, jalur alih jenjang, dan sejumlah nama lainnya.
Pada jalur umum saja dikabarkan biaya masuk bisa mencapai Rp 100 juta. Jumlah
itu belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP) yang bervariasi. Bahkan
tarif yang cukup mahal juga berlaku bagi calon mahasiswa yang menempuh jalur
penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Apalagi jalur khusus, yang biasa
disebut “jalur tol”, mungkin biaya itu bisa lebih mahal lagi. Mahalnya biaya
masuk dan kuliah di PTN dipandang beberapa pengelola perguruan tinggi sebagai
upaya “subsidi silang” antara mahasiswa kaya dan miskin. Salah satu PTN yang
dulu masuk BHMN menyebut biaya operasional per tahun sekitar Rp 1 triliun,
sedangkan dana dari pemerintah hanya sekitar Rp 300 miliar. Kekurangannya,
antara lain, ditutupi dari mahasiswa yang menempuh “jalur khusus” ini.
Adakah pihak asing
dalam setiap investasinya di Indonesia atau mereka investasi
dinegara lain bisa mendatangkan kemampuan yang sama atas investasi modal,
teknologi serta marketing berjaring Internasional bagi sebuah Negara dimana
mereka berinvestasi. Jawabannya tidak ada dan kalaupun ada Negara yang bisa
maju kemampuan teknologinya, adalah kemampuan SDM individu warga Negara dari
sebuah bangsa yang mampu memanfaatkan investasi asing tersebut pada negaranya
dengan cara mencari sendiri serta memberi nilai tambah terhadap teknologi
investasi asing itu. Kalimat serta persepakatan yang diumbarkan selama ini
tentang “Alih teknologi, alih kemampuan, alih keterampilan” adalah omong kosong
sebagai penyenang sementara.
Banyak masyarakat dan
para tokoh Nasional disejumlah daerah yang mengusulkan agar Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh segera mundur dari jabatannya
karena tidak becus hanya mengurus pelaksanaan UN 2013 yang amburadul dan
terjadi penundaan yang cukup lama pada 11 daerah Propinsi (Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur). Bahkan M.Nuh sudah dipanggil Presiden SBY di kantornya
bersamaan dengan Panglima TNI Agus Suhartono dan Kepala Kepolisian RI Jenderal
Timur Pradopo, KSAU agar ada senergi solusi UN lanjutan pada hari Selasa 16
April 2013.
Anehnya, ketika wartawan menanyakan
tentang usulan kemundurannya, M.Nuh malah mempraktekkan berjalan
melangkah mundur dengan berkata “ini saya sudah mundur”
terlihat nyata M.Nuh melecehkan pendapat serta usulan banyak para tokoh atas
kemunduran dirinya. Pak Menteri, anda itu pembantu Presiden RI di bidang
pendidikan dan kebudayaan bukan anggota Srimulat. Lalu jabatan anda tidak
seperti manajemen kedai sampah ! Anda dibiayai oleh uang rakyat melalui Negara,
anda didandani dengan fasilitas baik untuk membaikkan dan meningkatkan kualitas
pendidikan Nasional di NKRI agar anak didik bangsa Indonesia menjadi orang yang
mampu mengangkat harkat, martabat bangsa dan negaranya. Anda sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tahu dan paham tidak tentang ini ?
Mahalnya Biaya Masuk PTN, Dimana Tanggung Jawab Pemerintah?
(Potret Suram Pendidikan Akibat Pendiktean Liberalisasi)
DR. Yasir Ibrahim -LS DPP HTI
Pendahuluan
Berbagai model penerimaan mahasiswa baru di beberapa Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) di Indonesia, terutama yang dulu berstatus badan hukum milik negara
(BHMN), berubah menjadi BLU (Badan Layanan Umum) hampir sama cuma membedakan
tata kelola keuangan separuh disetor ke pemerintah masuk kas negara dan separuh
masuk ke kas Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Dengan BLU ini tetap biaya
mahal sehingga keluhan berbagai kalangan lantaran sudah memberatkan mahasiswa
karena biayanya sangat tinggi. Beragam nama pun muncul, mulai dari jalur umum,
jalur khusus, jalur prestasi, jalur alih jenjang, dan sejumlah nama lainnya. Pada
jalur umum saja dikabarkan biaya masuk bisa mencapai Rp 100 juta. Jumlah itu
belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP) yang bervariasi. Bahkan tarif
yang cukup mahal juga berlaku bagi calon mahasiswa yang menempuh jalur
penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Apalagi jalur khusus, yang biasa
disebut “jalur tol”, mungkin biaya itu bisa lebih mahal lagi. Mahalnya biaya
masuk dan kuliah di PTN dipandang beberapa pengelola perguruan tinggi sebagai
upaya “subsidi silang” antara mahasiswa kaya dan miskin. Salah satu PTN yang
dulu masuk BHMN menyebut biaya operasional per tahun sekitar Rp 1 triliun,
sedangkan dana dari pemerintah hanya sekitar Rp 300 miliar. Kekurangannya,
antara lain, ditutupi dari mahasiswa yang menempuh “jalur khusus” ini.
Pelaksanaan UN 2013 Pembodohan Yang Melanggar Putusan
MA
Disusun : Ashwin Pulungan
Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemedikbud) tanpa memiliki etika ketata-negaraan, masih saja melanjutkan UN
pada tahun 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012 walaupun sudah ada putusan yang kuat
dari MA untuk melarang pelaksanaan UN di seluruh Imdonesia. Dalam hal ini,
pemerintah melaksanakan program untuk umum dibidang pendidikan dengan cara
melanggar keputusan dari lembaga resmi dan syah secara hukum yaitu MA (Mahkamah
Agung).
Dana APBN dan dana lainnya yang dikeluarkan untuk UN pada
tahun 2009 ±Rp. 572 Milyar, tahun 2010 ±Rp. 590 Milyar, tahun 2011 ±Rp.600
Milyar dan tahun 2012 ± Rp.600 Milyar. Belum lagi dana-dana lainnya setelah
berkas UN sampai didaerah. Pasar gelap jawaban soal UN juga sangat riuh-meriah
sehingga mendatangkan pendapatan haram bagi para oknum dari kalangan pendidikan
juga. Dalam pelaksanaan UN yang konyol untuk 14-16 April 2014 kembali
Pemerintah cq. Kementerian Pendidikan tidak mematuhi putusan MA dan akan berapa
lagi dana APBN yang akan terkuras dengan hasil yang akan merusak sendi-sendi
pendidikan nasional. Kita tidak mengerti era kepemimpinan SBY seolah tidak
memiliki empati kepada semua pendapat dari masyarakat tentang UN ini.
Tidak dapat
disangkal bahwa pelaksanaan Ujian Nasional dari tahun ke tahun selalu
menyisakan permasalahan klise yang tak kunjung selesai. Mulai dari kasus contek
masal, isu adanya mafia yang dengan sengaja membocorkan soal Ujian Nasional dan
kunci jawabannya, saling memberi kelonggaran kepengawasan silang antarsekolah,
hingga hasil Ujian Nasional yang dianggap belum mampu merefleksikan potensi
sebanarnya yang dimiliki siswa karena pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan Ujian Nasional belum sepenuh hati melaksanakan Prosedur Operasi
Standar (POS) penyelenggaraan Ujian Nasional.
Masih segar dalam
ingatan kita bahwa sejumlah perilaku yang mengindikasikan adanya kecurangan
terjadi dalam penyelenggaraan Ujian Nasional tahun 2011. Baik yang dilakukan
guru dari pihak sekolah penyelenggara Ujian Nasional, pengawas ujian, maupun
siswa peserta ujian. Yang paling fenomenal adalah kasus contek masal yang
terjadi di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Surabaya, Jawa Timur. Kasus ini
mencuat menjadi permasalahan nasional karena kasus ini baru dapat diselesaikan
setelah Mendikbud, M. Nuh, turun tangan. Kasus serupa pun terjadi di sejumlah
sekolah di Jawa Tengah, Jawa barat, bahkan di DKI Jaya.
Disaat penerimaan
siswa baru serta kenaikan kelas, permasalahan sekolah bagi setiap orang tua
selalu saja lebih meningkat eskalasi permasalahnnya dibandingkan beberapa tahun
yang lalu. Hal ini bisa terjadi disebabkan tidak adanya payung hukum yang bisa
dijalankan oleh setiap aparat dan instansi penegak hukum dinegeri ini. Kalau
ada penegakan hukum, merupakan penegakan yang bermaksud ganda untuk kepentingan
berupa “saya dapat apa dengan tindakan
hukum ini”. Banyaknya laporan atas keresahan masyarakat tentang oknum guru
sekolah melalaui manajemen sekolah, jarang yang ditindak lanjuti dengan benar. Keberadaan Komite Sekolah yang ada sebanyak
minimal 9 orang sebagai representatif para orang tua murid, juga tidak bisa
berfungsi sebagai dampak dari perekrutan dan pemilihan anggota Komite Sekolah
secara malregulasi dan tidak aspiratif. Sehingga manajemen sekolah tidak
dapat diawasi secara penuh dan yang selalu terjadi adalah KKN antara Kepala Sekolah
dengan Tim Komite Sekolah yang sangat merugikan orang tua murid. Sehingga
Komite Sekolah sudah umum dijuluki sebagai bumper manajemen sekolah serta para komite
pelacur sekolah.
Setiap orang tua baik suami maupun istri
selalu mendambakan kelahiran seorang atau beberapa orang turunan buah hati
didalam kehidupan keluarganya. Betapa gamang dan hambarnya hidup ini jika sang
buah hati belum hadir. Sang buah hati merupakan titipan dari Yang Maha Kuasa
kepada kita sebagai orang tua, titipan ini dimaksudkan oleh Yang Maha Kuasa untuk
disayangi, dipelihara, dirawat, dibesarkan, dididik sesuai dengan etika ke-Ilahian
agar kelak sang buah hati menjadi manusia berakhlak mulia dan berilmu tinggi yang
menyayangi serta memelihara lingkungannya lalu mengerti untuk bersyukur dalam
beribadah kepada Allah SWT Yang Maha Pencipta. Putra-putri kita merupakan kader sumber daya manusia kita untuk menerima estafet kehidupan produktif
selanjutnya dalam rangka melanjutkan secara bernilai tambah kemaslahatan bagi
sesama yang telah kita bangun selama ini. Oleh karena itu kita sebagai orang
tua membutuhkan wadah pembentukan manusia Indonesia yang jujur dan berakhlak
mulia yaitu melalui pendidikan yang baik serta berkualitas.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh, Ahad (12/6/2011), menyatakan bahwa untuk masuk sekolah di seluruh wilayah Indonesia tidak boleh ada eksklusifitas. Disinyalir, di beberapa kalangan masyarakat masih terdapat bentuk eksklusifitas untuk mengakses pendidikan di negeri ini. Apalagi, eksklusifitas tersebut bukan ditentukan secara akademik. "Misalnya, karena kemampuan membayar atau karena anak pejabat, itu tidak boleh. Tidak boleh ada pembedaan dalam dunia pendidikan nasional. Eksklusifitas semata-mata karena kemampuan akademik," tegasnya.
Pernyataan Mendiknas M.Nuh diatas, sudah sangat sering beliau kemukakan dan sangat membosankan, akan tetapi selalu tidak ada solusi dan masyarakat tetap saja tidak memperdulikan pernyataan tersebut.
Pernyataan Mendiknas ini menunjukkan bahwa dia belum mengerti sebenarnya tentang apa yang sedang terjadi (tidak mau tau) diseluruh sekolah SD, SMP dan SMA saat ini. Sebagai contoh dengan adanya kelas RSBI (Rencana Sekolah Bertaraf Internasional) disatu sekolah, itu membuktikan adanya eksklusifitas yang diresmikan didalam satu sekolah. Masyarakat menilai bahwa proyek RSBI disekolah adalah membingungkan dan secara kualitaspun tidak menampakkan hal yang signifikan sehingga masyarakat memplesetkan RSBI dengan Sekolah Bertarif Internasional. Proyek RSBI menuju SBI yang telah berlangsung di banyak sekolah penuh dengan rekayasa yang dilakukan oleh manajemen sekolah seperti ujian penerimaan sekolah RSBI diadakan testing saringan dan ternyata setelah diadakan pengumuman, banyak yang tersaring lalu anak-anak yang tidak lulus saringanpun hampir semua dipanggil lagi untuk mendaftar ke RSBI. Jadi yang ada dalam testing saringan tersebut adalah berpura-pura mengadakan saringan yang seolah-olah berkualifikasi. Ini sangat melucukan dan terjadi pada banyak sekolah dinegeri Indonesia ini. Kelihatannya para Kepala sekolah dan para guru RSBI ini sangat bersemangat untuk menyelenggarakan RSBI walau para guru kemampuan berbahasa Inggrisnya pas-pasan.
Fenomena mencontek massal yang diperbolehkan oleh para pengawas disaat Ujian Nasional (UN) sebenarnya telah berlangsung lama yaitu sejak UN itu diadakan. Kejadian di Jawa Timur di daerah Tandes-Surabaya yang sangat menghebohkan itu membuat kita merasa miris yang berbaur dengan kesedihan, bahwa secara tidak langsung, telah terjadi kaderisasi contek mencontek yang berakhir dalam jangka panjang akan menjadi kader maling massal kedepan telah berlangsung didepan mata kita bahkan para gurulah yang melakukan pembiaran kebiasaan kecurangan itu.
Sungguh sangat ironis di satu sisi Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan ingin menjadikan ajang UN ini sebagai alat tolok ukur serta untuk memetakan mutu kualifikasi pendidikan para siswa secara Nasional, disisi lain para pengawas yang juga sebagai guru para murid merusak mekanisasi tolok ukur itu dengan melakukan pembiaran contek mencontek yang sangat melanggar ketentuan UN itu sendiri. Sungguh sangat menyedihkan, pengrusakan pendidikan Nasional ini dimulai sejak dari tingkat SD, SMP dan SMA serta dilakukan oleh para guru dari murid-murid itu sendiri. Kalau sudah demikian, apa artinya kurikulum pendidikan kalau aspek moral/akhlak sangat diabaikan dan dilakukan disaat pelaksanaan UN. Mungkinkah dengan cara kotor demikian dapat dihasilkan para murid kedepan menjadi manusia yang memiliki sikap kepribadian serta karakter yang mandiri, kreatif, jujur, mulia serta unggul ?
Usaha dan upaya pemerintah membentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di sekolah-sekolah negeri saat ini diberbagai daerah mendapat banyak kecaman dari masyarakat terutama kritik yang cukup keras dalam sarasehan nasional di Universitas Negeri Malang (UNM) di Malang, Jawa Timur, Rabu (21/7/2010). Beberapa pembicara mengungkapkan, konsep RSBI malah jadi salah satu penyebab siswa tak lagi lekat dengan nilai-nilai Pancasila serta budayanya.
Sri Edi Swasono sangat menyayangkan pendidikan di Tanah Air berkiblat ke Barat. Padahal, seharusnya lebih mengedepankan potensi negara Indonesia dalam kurikulum Nasional.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan akan mengevaluasi pelaksanaan rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Indonesia.“Evaluasi menyeluruh itu dilakukan untuk beberapa poin seperti komposisi guru, sistem pembelajaran dan standar kecukupan” kata Mohammad Nuh di Jakarta, Senin . Nuh di Jakarta, Senin (31/5/10).
Nuh kuatir pemberitaan ramai tentang SBI-RSBI ini muncul karena ada kekuatiran adanya kastanisasi antar sekolah reguler, sekolah berstandar nasional, dan sekolah berstandar internasional. Ia menepis hal itu. “Sekolah-sekolah bertaraf internasional ini adalah amanat UU Sisdiknas yang bertujuan menumbuhkan academic excelent.” Ujarnya.
Pemerintah akan mengevaluasi penyelenggaraan rintisan sekolah berstandar internasional (SBI). Evaluasi akan dilakukan seusai tahun ajaran yang berakhir pada Juni 2010. "Juli, kami akan mengevaluasi dengan menggunakan empat parameter," kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh ketika menyampaikan keterangan pers seusai membuka Kontes Robot Indonesia 2010 di Dome Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/06) .
ADA kecenderungan warga kelas menengah ke atas kian tergila-gila untuk menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional. Akibat tingginya permintaan itu, sekolah-sekolah negeri pun sibuk mendirikan kelas-kelas berpredikat internasional.
Berbagai fasilitas pun disulap. Ada pendingin ruangan, komputer, serta laboratorium yang lengkap. Tak ketinggalan, pelajaran pun dikemas-poles dan disampaikan dalam bahasa Inggris.
Awalnya pihak swasta yang memprakarsai kelas dan sekolah internasional. Label 'internasional' itu sepenuhnya dibiayai orang tua murid. Di sini tak ada lagi pendidikan sebagai fungsi sosial, atau merupakan amanah Preambul Konstitusi, tetapi semata urusan dagang. Ada mutu ada harga.
Banyak Guru SBI Memalukan, Bahasa Inggrisnya memble
Tulisan pada harian Kompas 24 Juli 2009 dinyatakan bahwa sampai saat ini banyak guru belum berhasil dijadikan role model pengguna Bahasa Inggris yang baik, dan jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan Sekolah Bertaraf Internasional di sekolah negeri, banyak di antara para guru tak siap menghadapinya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Bidang Akademik LBPP-LIA Ir Hafilia R Ismanto MM di Palembang, Jumat (24/7), dalam rangka persiapan workshop Content and Language Integrated Learning (CLIL) yang akan digelar oleh LBPP-LIA besok (25/7) di kota tersebut.
"Terlihat ada keengganan dari para guru content atau mata pelajaran untuk mengadakan pembelajaran dalam Bahasa Inggris, karena mereka harus mengubah kebiasaannya mengajar dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris," dan itu berat sekali ujar Hafilia.
Hafilia mengaku sangat berempati menghadapi kenyataan itu. Dikatakannya, setelah mengikuti workshop CLIL Palembang yang sebelumnya telah diselenggarakan di Yogyakarta dan Pontianak, dirinya makin mengetahui ketidak siapan para guru tersebut dalam menghadapi SBI.
Pemerintah Secepatnya Segera Evaluasi Program SBI-RSBI
Sebelum Menjadi Sangat Parah
Kita sambut gembira keputusan yang telah diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu mencabut UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menuai banyak kontroversi selama ini, mulai Rabu (21/3/2010). UU BHP itu dinyatakan tidak berlaku sejak dicabut.
Keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah atas permohonan pengujian dalam lima perkara yang diajukan berbagai elemen masyarakat peduli pendidikan. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD, UU BHP bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, UU BHP itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum. UU BHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945.
Dalam penyusunan UU BHP, pemerintah dan DPR tidak mematuhi rambu-rambu yang telah dibuat MK sebelumnya. UU BHP seharusnya tidak menyeragamkan lembaga pendidikan menjadi BHP. Seharusnya keragaman lembaga pendidikan yang ada diakomodasi.
Pelaksanaan UN untuk SMP dan SMA dengan nilai standard 5,5 diseluruh Indonesia telah berjalan. Ada lima mata pelajaran yang diujikan secara nasional, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPS, IPA. Saat ini telah bermunculan sangat banyak kasus soal bocor serta ketidak jujuran pelaksanaannya yang terjadi disetiap Propinsi. Hal ini adalah merupakan indikator betapa parahnya kondisi pendidikan kita saat ini. Begitu juga Pemerintah yang ngotot melaksanakan UN tanpa memperdulikan keputusan MA melarang Pemerintah untuk melanjutkan pelaksanaan UN di Indonesia karena belum memenuhi kriteria standar kualifikasi yang seragam.
Sangat disayangkan pelaksanaan UN 2010 ini sekaligus pengulangan pensosialisasian praktek pendidikan mafia dimana ada kasak-kusuk penjualan soal UN lalu saling contek-mencotek didalam ruang ujian yang dibiarkan para pengawas. Adanya guru sekolah yang sengaja membocorkan soal melalui SMS kepada setiap siswa dimana dibuktikan dengan mayoritas siswa membawa HP yang baru dikumpulkan beberapa menit akan berlangsungnya UN diruang ujian. Selanjutnya pembiaran pelanggaran tertib UN dengan membebaskan para siswa melakukan contek-mencotek saling lempar contekan. Apa artinya dikeluarkan biaya pengawasan dan pelaksanaan UN demi ketertiban dari uang rakyat akan tetapi para pengawas dan pelaksana adalah pengawas dan pelaksana (tidak jujur) yang harus diawasi juga. Dapat saya katakan bahwa ajang UN kali ini merupakan “Pelaksanaan Kecurangan Ujian Nasional 2010”.
KASUS 1.082 guru di Riau yang ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan sebagai ”guru profesional” sungguh memilukan. Dalam hati saya bertanya, apakah guru-guru ini masih dapat mengajar di sekolah mereka?
Masih ada sederet pertanyaan lain dalam kasus ini tentang guru-guru ini. Yang sungguh mengganggu pikiran saya adalah bagaimana para guru itu masih dapat mengajar dengan baik setelah mereka kehilangan wibawa (gezag) akibat peristiwa ini? Sebutan ”guru profesional” tak akan dapat mengembalikan wibawa yang hilang karena plagiarisme tadi.
Berdasarkan informasi keputusan perkara di situs resmi MA, perkara gugatan dari warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono beserta kawan-kawan tersebut diputuskan pada 14 September 2009 lalu oleh Tim majelis hakim yang beranggotakan Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.
Amar putusannya adalah : “Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional (UN), dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq. Presiden RI cq. Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq. Presiden RI cq. Menteri Pendidikan Nasional cq. Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono beserta kawan-kawan (selaku para termohon Kasasi, para Penggugat/para Terbanding)”
Atas keputusan tersebut diatas, Mahkamah Agung (MA) pada hakikatnya melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN) 2010. MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan adanya putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh wilayah daerah Indonesia.
Mahkamah Agung (MA) melarang ujian nasional (UN) yang diadakan Departemen Pendidikan Nasional di seluruh Indonesia. Putusan itu keluar setelah MA menolak kasasi gugatan UN yang diajukan Pemerintah.
Seperti dilansir situs MA.go.id, MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 itu diputus pada 14 September 2009. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan Kristiono dan kawan-kawan.
”Majelis hakim terdiri dari Ketua Majelis Hakim Mansyur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abas Said,” terang Kepala Sub Bagian (Kasubag) Humas MA, Andri Tristianto ketika dikonfirmasi, Rabu (25/11/09).
Pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) berlandasan Hukum :
UU No.20 Tahun 2003 Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.
1). Pemerataan dan Perluasan Akses
2). Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing. Salah satunya pembangunan sekolah bertaraf internasional untuk meningkatkan daya saing bangsa. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengembangkan SBI pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk mengembangkan SD, SMP, SMA, dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia.
[JAKARTA] Dikemukakan Ketua Dewan Pembina The Centre for the Betterment of
Education (CBE) Ahmad Rizali : Mahalnya biaya pendidikan di sekolah negeri yang
berstandar internasional di mana biaya masuknya sampai puluhan juta rupiah,
adalah sebuah praktik liberalisasi dan komersialisasi pendidikan nasional.
Langkah ini merupakan cerminan konsep pendidikan nasional yang tidak percaya
diri dan menampakkan ketidakmampuan bersaing dengan bangsa lain.
DPRD Desak Dinas Pendidikan Hentikan Penambahan RSBI
Permasalahan pelencengan misi yang terjadi di Kota Malang ini, hampir merata sama terjadi dibeberapa daerah di Indonesia seperti murid yang nilainya pas-pasan, asal punya duit jutaan sesuai dengan tarif RSBI-SBI bisa diterima dan dinyatakan lulus seleksi. Kapasitas kelas RSBI-SBI yang hanya 24 orang diisi dengan 35-40 orang. Para guru yang mengajar di kelas regular sudah memudar semangat ajarnya dan lebih banyak memperhatikan kelas RSBI-SBI karena uangnya banyak apalagi para guru dituntut untuk mengikuti yang dikatakan peningkatan kualifikasi internasional. Lalu secara bertahap kelas regular dikurangi untuk mencapai sepenuhnya RSBI-SBI. Akhirnya, program SBI ini menjadi sekolah yang ditanggung para murid pembiayaannya sementara kualifikasi masih dipertanyakan maka samalah statusnya dengan sekolah swasta.
Pendidikan Regular Gratis vs RSBI-SBI di Indonesia
Di Sarikan Oleh : Ashwin Pulungan
Selalu dikatakan bahwa Pendidikan yang dilaksanakan tidak gratis saja kualitasnya sangat rendah apalagi pendidikan di gratiskan. Pendidikan gratis yang dilaksanakan Pemerintah dimaksudkan untuk merealisasikan UUD ’45 yang mewajibkan pendidikan bagi warga negaranya.
Pendidikan adalah investasi masa depan. Kalau suatu Bangsa ingin memajukan, merubah kualifikasi bangsanya, maka pendidikanlah sebagai kunci jawabannya. Rakyat yang ada disuatu negara, bisa terdiri dari bersuku-suku bangsa dan rakyat adalah anak bangsa, maka pantaslah bila masing-masing anak bangsa mendapatkan pendidikan dari Negaranya. Anak bangsa inilah suatu saat yang akan membuat perubahan kemajuan dan mengangkat harkat martabat citra bangsanya.
Suatu wilayah Negara memiliki potensi SDA (Sumber Daya Alam) bila memiliki SDM berkualitas, bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Pendapatan Negara dari beberapa potensi kemampuannya serta produktifitasnya, harus diutamakan untuk tujuan pembiayaan Pendidikan Nasional disamping pembiayaan sektor penting lainnya.
Pendidikan gratis yang akan dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2010 wajib kita sambut dengan gembira, walaupun pada pelaksanaannya perlu pembenahan sektor pendidikan kita diberbagai bidang. Pendidikan gratis itu sebenarnya harus dilaksanakan secara berkualitas setara dengan pendidikan bertaraf Internasional sejak dari SD, SMP, SMA dan PT. Dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini, sudah harus dihilangkan apa yang kita dengar selama ini SBI (sekolah bertaraf Internasional) tren para kepala sekolah saat ini ada upaya keras untuk menghindar dari pendidikan gratis kearah SBI. SBI ini dijadikan pelarian untuk memeras para murid dan orang tua murid dengan predikat Internasional, padahal para gurunya kualifikasinya sangat lokal dan tidak bertaraf Internasional, kalau hanya bahasa pengantarnya berbahasa inggris, pantas kita tertawakan SBI ini. Dalam pelaksanaannya, SBI menemui berbagai kendala. Contoh: konsep yang tidak jelas, penguasaan bahasa Inggris bagi guru yang mengajar hard science (Kimia, Fisika, Biologi), dll. Kendala-kendala tersebut menambah panjang deretan masalah SBI yang ditemukan di beberapa daerah. SBI lebih terlihat sebagai program pemerintah yang ‘menghabiskan’ banyak dana padahal belum jelas output yang dihasilkan.