Minggu, 01 Agustus 2010

RSBI-SBI Inkonstitusional, Anasionalisme, Sarat Manipulasi Uang


RSBI-SBI Akan Hilangkan Nasionalisme Siswa
Serta Inkonstitusional, Sarat Manipulasi Keuangan

Usaha dan upaya pemerintah membentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di sekolah-sekolah negeri saat ini diberbagai daerah mendapat banyak kecaman dari masyarakat terutama kritik yang cukup keras dalam sarasehan nasional di Universitas Negeri Malang (UNM) di Malang, Jawa Timur, Rabu (21/7/2010). Beberapa pembicara mengungkapkan, konsep RSBI malah jadi salah satu penyebab siswa tak lagi lekat dengan nilai-nilai Pancasila serta budayanya.

Sri Edi Swasono sangat menyayangkan pendidikan di Tanah Air berkiblat ke Barat. Padahal, seharusnya lebih mengedepankan potensi negara Indonesia dalam kurikulum Nasional.


Rektor Universitas Wisnuwardhana Suko Wiyono pun mengatakan konsep RSBI tidak efektif. "RSBI hanya mengubah cara menyampaikan pelajaran dengan bahasa Inggris. Yang menyedihkan, kemampuan bahasa Inggris guru tidak lebih baik dari siswanya," kata Suko.

KOMPAS.com — Bukan hanya di Jakarta dan Yogyakarta publik mempertanyakan perkembangan pengelolaan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Dewan Pendidikan Sumatera Utara pun menilai, RSBI-SBI di daerah tersebut kurang memiliki standar yang jelas sehingga membingungkan masyarakat.

"Selama ini belum ada indikator dan standar yang jelas soal RSBI dan SBI itu," kata Sekretaris Dewan Pendidikan Sumut Mahdi Ibrahim di Medan, Kamis (22/7/2010).
Dia mengatakan, pihaknya sering mendapatkan keluhan dan ungkapan kebingungan dari masyarakat mengenai berbagai ketentuan yang diterapkan pengelola RSBI dan SBI. Keluhan itu terutama soal tidak jelasnya indikator penilaian dan standardisasi pengelolaan RSBI tersebut.
"Semuanya serba tidak jelas, baik terkait sarana pendidikan, kualitas tenaga pendidik maupun kurikulum yang diberlakukan," kata Mahdi, yang juga Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumut ini.
Dia menyebutkan, keluhan juga disampaikan masyarakat karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan pihak orangtua yang ingin anak-anaknya mengikuti pendidikan di RSBI. Selain biaya pendidikan yang mahal, pengelola RSBI dan SBI di Sumut juga mewajibkan orangtua untuk membayar dana masuk sekolah itu hingga jutaan rupiah.

Adapun Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan akan melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan dan pelaksanaan RSBI yang berjalan sejak 2006 lalu. Apabila ditemukan banyak penyimpangan, tidak menutup kemungkinan Pemerintah akan mengembalikan RSBI pada program sekolah reguler.
"Mulai Juli 2010 dilakukan evaluasi apakah on the right track atau melenceng. Agustus nanti kita akan mengeluarkan kebijakan baru, mau diapakan RSBI," ujar Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, Minggu (18/7/2010) di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur.

Perlu disadari oleh semua pihak terutama yang berkecimpung dalam pendidikan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendidikan merupakan kebutuhan sangat mendasar bagi setiap warga negara. Karena itu, suatu kewajiban pemerintah  untuk memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan bukan monopoli anggota masyarakat yang berduit saja. Ada gejala yang sangat kuat pada program internasionalisasi pendidikan di sekolah-sekolah kita berpotensi melahirkan ketidakadilan memperoleh pendidikan.

Hal yang lebih parah lagi serta sangat merisaukan adalah terjadinya pungutan dana yang cukup besar yang jauh dari kemampuan masyarakat pada umumnya. Sekadar ilustrasi di sebuah sekolah favorit di sebuah kota ukuran sedang ada orangtua siswa yang sanggup membayar uang masuk sebesar Rp. 25 juta rupiah jika anaknya diterima  di kelas program internasional. Saya kira untuk ukuran masyarakat kita uang sebesar untuk biaya masuk SMA saja jauh di atas kemampuan rata-rata masyarakat kita. Padahal, untuk biaya masuk perguruan tinggi saja tidak sebesar itu.

Uang masuk RSBI-SBI tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak akhir-akhir ini sehingga program internasionalisasi pendidikan tak ubahnya merupakan komersialisasi pendidikan negeri. Padahal, dari pengamatan sekilas yang disebut kelas program internasional tersebut sama sekali tak ada bedanya dengan kelas-kelas lain reguler, kecuali untuk mata  pelajaran IPA disampaikan dalam bahasa Inggris oleh guru yang baru saja kursus bahasa Inggris dengan kemampuan pas-pasan. Akhirnya yang terjadi bukan mengajarkan matapelajaran IPA dalam bahasa Inggris, melainkan mengajar bahasa Inggris (not teaching physics in English, but teaching English). Jika terpaksa menyampaikan matapelajaran IPA tersebut dalam bahasa Inggris, siswa juga tidak paham sebab bahasa Inggris antara guru dan murid tidak komunikatif. Maklumlah kedua belah pihak masih belajar bahasa Inggris. Tentu kita semua paham dan mengerti bahwa mengajar bahasa Inggris tidak sama dengan mengajar materi pengertian dalam bahasa Inggris.

Pada UUD 1945 Pasal 31 ayat 1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kalau kita lihat kenyataan pelaksanaan RSBI-SBI dilapangan, sangat bertentangan dengan UUD 1945.

Konsep internasionalisasi pendidikan bukan sekadar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi juga mulai sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional. Karena itu, jika berbahasa Inggris dijadikan satu-satunya tanda sudah berinternasional, maka sungguh bodoh dan konyol. Semua pihak hanya berkonsentrasi bagaimana  meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Para guru sibuk belajar bahasa Inggris agar bisa mengajar di kelas internasional karena merasa lebih bergengsi dan tentu ada  tambahan honorarium yang berbeda dengan yang tidak mengajar di kelas internasional. Sedangkan para siswa lebih berkonsentrasi belajar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika matapelajaran bahasa Indonesia pada Ujian Nasional 2010 sangat jeblok. Nilai matapelajaran bahasa Inggris lebih baik daripada nilai bahasa Indonesia. Sebuah ironi terjadi di dunia pendidikan kita. Bahasa asing lebih dikuasai daripada bahasa nasional yang mestinya dijunjung tinggi. kata Prof. DR. H. Mudjia Rahardjo pengamat pendidikan.

Bom waktu kehancuran pendidikan Nasional sedang berlangsung yang didasari oleh UU No.20 Tahun 2003 serta Permendiknas Nomor 78/2009 dengan merealisasikan proyek RSBI-SBI yang sangat menyesatkan tujuan pendidikan nasional kita kedepan. Cara menghadapi tantangan globalisasi dunia bukan caranya demikian. Seharusnya pendidikan nasional kita tetap melaksanakan kurikulum reguler yang selama ini berjalan baik serta di sempurnakan dalam sistem dan materi belajar dan pengajarannya dibeberapa bidang untuk menghadapi tantangan kedepan.

Lucunya lagi jika ada pihak yang mengkritisi statusnya (SBI atau RSBI), serta kualifikasinya sebagai sekolah bertaraf internasional, pengelola alias Kepala Sekolah umumnya menjawab ‘Kita masih sebagai rintisan’, sehingga sekolah itu berlabel RSBI. Jadi belum bertaraf murni internasional. Kata ‘rintisan’ ternyata cukup ampuh untuk dijual dan menarik minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di sekolah tersebut (bagi orang tua yang kampungan berduit dan sangat awam merupakan kebanggaan). Dalam benak pengelola, karena masih berstatus ‘rintisan’, maka kalaupun kualitasnya belum sepadan dengan yang diharapkan sebagai sekolah internasional, mohon semua pihak memakluminya. Tetapi pada saat yang sama, karena masih tahap merintis menuju yang sesungguhnya diperlukan dana cukup besar. Karena itu, orangtua yang menyekolahkan anaknya di program rintisan itu mesti rela mengeluarkan biaya jutaan rupiah yang hasil dan akuntabilitasnya sangat tidak jelas.
Sesuai undang-undang pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, menarik dana besar-besaran dari masyarakat untuk program internasionalisasi sekolah sangat bertentangan dengan undang-undang terutama UUD 1945.

Kita harus mengetahui dari awal secara rinci tentang historis berlakunya UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional. Banyak pakar di Indonesia terutama dari perguruan tinggi terjebak dalam pemikiran Globalisasi serta persaingan antar bangsa-bangsa yang sangat tajam kedepan. Padahal ketakutan itu memang dikumandangkan oleh penguasa globalisasi agar negara seperti Indonesia terpengaruh dengan grand design mereka sehingga pelaksanaan pendidikan Nasional menjadi mahal dan hanya orang tertentu berduait saja yang dapat menikmati sekolah. Oleh karena itu, menteri Pendidikan yang akan mengevaluasi RSBI-SBI ini, seharusnya meninjau juga UU No.20 Tahun 2003 tersebut kearah revisi/mengganti UU tersebut. Serta membatalkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) jika sudah ada. Selanjutnya Permendiknas Nomor 78/2009 juga harus dibatalkan. Kita juga harus mengetahui kualitas anggota DPR-RI yang meloloskan UU No.20 Tahun 2003 tersebut. Banyak anggota DPR-RI yang lapar duit dan amoral dan para anggota DPR seperti ini akan sangat mudah menyetujui UU yang memihak asing karena para anggota DPR seperti ini bisa dibeli. UU No.20 Tahun 2003 bukanlah amanat rakyat karena bertentangan dengan UUD 1945.

RSBI-SBI adalah merupakan sebuah proyek komersialisasi pendidikan negeri yang nantinya akan mengorbankan banyak masyarakat yang tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan. Bayangkan bila semua SD, SMP, SMA menjadikan sekolahnya RSBI-SBI kedepan pendidikan Indonesia akan dihancurkan oleh proyek RSBI-SBI ini.

Dana RSBI dan SBI Rawan Korupsi.


Dana di RSBI dan SBI yang berasal dari APBN, APBD dan masyarakat rawan korupsi. Hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam pengelolaan dana tersebut serta lemahnya audit atas laporan keuangan sekolah tersebut. Pemerintah disarankan untuk segera melakukan audit investigatif terhadap dana yang pernah diberikan pada RSBI dan SBI mulai 2006 sampai 2010. Hal ini perlu dilakukan mengingat tertutupnya pengelolaan dana tersebut serta besarnya dana yang berhasil dihimpun oleh RSBI dan SBI dari orang tua murid. Berdasarkan data Kemdiknas, dalam kurun waktu 2006 sampai 2010 Kemdiknas sudah mensubsidi 1.172 RSBI menjadi SBI dengan total bantuan dana sebesar kurang lebih Rp 11,2 miliar. Selain dana Kemdiknas, RSBI dan SBI juga telah mendapatkan bantuan dana dari pemerintah daerah dan dari masyarakat orang tua murid.

Dana-dana tersebut sangat rawan korupsi karena tidak transparannya pengelolaan keuangan serta tumpulnya audit terhadap sekolah-sekolah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan temuan ICW dan KAKP (Koalisi Anti Korupsi Pendidikan) atas laporan keuangan SDN Kompleks UNJ dalam pengelolaan dana Block Grant RSBI tahun 2007 sebesar Rp 500 juta. ICW dan KAKP menemukan indikasi korupsi berupa markup dan kwitansi fiktif pengelolaan keuangan tersebut. Kerugian negara dari kasus ini diperkirakan paling sedikit mencapai Rp 151 juta. Laporan keuangan dana Block Grant RSBI SDN Kompleks UNJ telah diaudit oleh beberapa lembaga audit. Namun, lembaga audit tersebut gagal menemukan penyalahgunaan keuangan karena tidak melakukan audit investigasi lebih dalam atas laporan keuangan tersebut.

Anggaran Ganda.

Selain modus mark up dan kegiatan fiktif dalam pengelolaan dana, RSBI dan SBI juga berpotensi melakukan modus anggaran ganda (double budget). RSBI dan SBI menggunakan berbagai sumber dana seperti dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun orang tua murid untuk membiayai satu kegiatan yang sama. ICW dan KAKP telah menerima pengaduan orang tua murid yang bertanya mengenai pembiayaan pembentukan RSBI yang didanai dari dana orang tua murid (uang komite) padahal kegiatan tersebut sudah didanai dari sumber lain seperti dana dari Kemdiknas atau Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sebagai contoh adalah pengadaan ATK (alat tulis kantor) dan fotocopy yang kebutuhannya hampir sama dengan kebutuhan ATK dan fotocopy sekolah tersebut dalam setahun. Padahal, kebutuhan ATK dan fotocopy ini dapat dibiayai dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Selain itu, dana operasional seperti ini juga bisa dipungutan dari orang tua murid dengan aneka nama pungutan.

Rekomendasi
Terkait dengan pengelolaan dana block grant RSBI di SDN Kompleks Percontohan UNJ 2007 serta sekolah lainnya kami merekomendasikan hal-hal berikut :

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta:
Mengusut tuntas kasus dugaan korupsi dana Block Grant RSBI 2007 di SDN Kompleks Percontohan UNJ

Kemdiknas:
Melakukan audit investigatif terhadap 1.172 sekolah SBI (SD, SMP, SMA dan SMK) yang telah mendapatkan dana bantuan dari Kemdiknas sejak tahun 2006 sampai 2010.

Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota:
Memberikan sanksi terhadap RSBI dan SBI yang terbukti menyalahgunakan dana APBN, APBD maupun dari masyarakat dan orang tua murid
Mengeluarkan kebijakan teknis tranparansi pengelolaan keuangan sekolah yang didasarkan pada UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP (Keterbukaan Informasi Publik).

Sekolah RSBI dan SBI harus terbuka Dalam Laporan Keuangan :
Membuka akses publik terutama orang tua murid seluas-luasnya terhadap APBS dan laporan keuangan sekolah.

Sekolah Berlabel RSBI dan SBI Inkonstitusional.                     

Sekolah berlabel internasional (SBI) atau rintisan SBI adalah inkonstitusional karena melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, bukan pendidikan internasional.

"Sekolah berlabel internasional, ini di luar sistem pendidikan nasional yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Namun sepanjang UU No 20 Tahun 2003 Pasal 50 yang mengatur pengembangan sekolah berlabel internasional ini tidak dihapus, sekolah-sekolah ini akan terus dikembangkan," kata Pengamat Pendidikan Darmaningtyas.

Darmanintyas mengatakan SBI merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang melanggar konstitusi. "Namun itu sulit dihentikan karena UU Sisdiknas mewajibkan setiap kabupaten/kota harus mengembangkan sedikitnya satu satuan pendidikan yaitu minimal satu SD, SMP, SMK, dan SMA yang berlabel internasional. Karena itu, untuk menghentikan ini, Pasal 50 UU Sisdiknas tersebut harus diubah. Tidak mungkin Pemerintah bertindak, kalau bunyi undang-undangnya tidak diubah," tegasnya.

Menurut Darmaningtyas selanjutnya, sekarang ini pemerintah kabupaten/kota sudah mengembangkan sekolah berlabel internasional tersebut. Biaya yang dikenakan pihak sekolah terhadap murid terutama sumbangan pendidikan mencapai jutaan rupiah bahkan puluhan juta. "Padahal, sekolah-sekolah berlabel internasional tersebut, sekolah negeri, bukan sekolah swasta," tegasnya.

DPR Nilai Pengelolaan Dana RSBI dan SBI Tidak Terbuka.

DPR RI menilai kalau selama ini pengelolaan dana di Sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) kurang terbuka karena menggunakan sitem block grant.

"Selama ini, pengelolaan dana di sekolah-sekolah tersebut (RSBI dan SBI) kurang tebuka karena menggunakan sistem block grant," kata Ketua DPR RI, Marzuki Alie, dalam pidato pada rapat paripurna DPR RI pembukaan masa persidangan IV Tahun sidang 2009-2010, di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarata, Senin (12/7/2010).

Menurut Marzuki, RSBI dan SBI merupakan amanat UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Program tersebut sudah berlangsungdari tahun 2006, namun dalam pelaksanaannya selama ini masih ditemukan berbagai permasalahan.

"Masalah tersebut diantaranya lemahnya pengawasan pengelolaan dana serta masih terbatasnya tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi serta kompetensi pembelajaran bilingual (dua bahasa)," ungkap Marzuki.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka DPR RI berinisiatif untuk melakukan pengawasan secara seksama. "Dalam hal ini, dewan berpendapat perlu dilakukan pengawasan dengan seksama, baik yang berkaitan dengan mutu tenaga pendidik maupun pengelolaan dana," katanya.
"Selama ini, pengelolaan dana di sekolah-sekolah tersebut (RSBI dan SBI) kurang tebuka karena menggunakan sistem block grant, seharusnya didasarkan pada UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP (Keterbukaan Informasi Publik)." Marzuki Alie

Menyinggung anggaran pendidikan nasional, Mendiknas menyampaikan, pada 2010 sebesar Rp.225 triliun, dari jumlah tersebut senilai Rp.141 triliun habis untuk tunjangan guru dan dosen. Sedangkan sampai 2014, tambahnya, simulasi anggaran pendidikan nasional sebesar Rp.330 triliun, dengan alokasi gaji guru dan dosen mencapai Rp.243 triliun. Adanya realisasi anggaran APBN sebesar 20% untuk dana pendidikan tidakkah kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita setara pendidikan bangsa maju yang dapat menjangkau kemampuan seluruh anak didik bangsa Indonesia ? Sehingga tidak ada satupun anak didik bangsa yang tidak dapat bersekolah. (000) (Ashwin Pulungan dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar