Selasa, 14 Juni 2011

Pendidikan Nasional Yang Amburadul

             Pendidikan Nasional Yang Amburadul
Oleh : Ashwin Pulungan


Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh, Ahad (12/6/2011), menyatakan bahwa untuk masuk sekolah di seluruh wilayah Indonesia tidak boleh ada eksklusifitas. Disinyalir, di beberapa kalangan masyarakat masih terdapat bentuk eksklusifitas untuk mengakses pendidikan di negeri ini. Apalagi, eksklusifitas tersebut bukan ditentukan secara akademik. "Misalnya, karena kemampuan membayar atau karena anak pejabat, itu tidak boleh. Tidak boleh ada pembedaan dalam dunia pendidikan nasional. Eksklusifitas semata-mata karena kemampuan akademik," tegasnya.

Pernyataan Mendiknas M.Nuh diatas, sudah sangat sering beliau kemukakan dan sangat membosankan, akan tetapi selalu tidak ada solusi dan masyarakat tetap saja tidak memperdulikan pernyataan tersebut.

Pernyataan Mendiknas ini menunjukkan bahwa dia belum mengerti sebenarnya tentang apa yang sedang terjadi (tidak mau tau) diseluruh sekolah SD, SMP dan SMA saat ini. Sebagai contoh dengan adanya kelas RSBI (Rencana Sekolah Bertaraf Internasional) disatu sekolah, itu membuktikan adanya eksklusifitas yang diresmikan didalam satu sekolah. Masyarakat menilai bahwa proyek RSBI disekolah adalah membingungkan dan secara kualitaspun tidak menampakkan hal yang signifikan sehingga masyarakat memplesetkan RSBI dengan Sekolah Bertarif Internasional. Proyek RSBI menuju SBI yang telah berlangsung di banyak sekolah penuh dengan rekayasa yang dilakukan oleh manajemen sekolah seperti ujian penerimaan sekolah RSBI diadakan testing saringan dan ternyata setelah diadakan pengumuman, banyak yang tersaring lalu anak-anak yang tidak lulus saringanpun hampir semua dipanggil lagi untuk mendaftar ke RSBI. Jadi yang ada dalam testing saringan tersebut adalah berpura-pura mengadakan saringan yang seolah-olah berkualifikasi. Ini sangat melucukan dan terjadi pada banyak sekolah dinegeri Indonesia ini. Kelihatannya para Kepala sekolah dan para guru RSBI ini sangat bersemangat untuk menyelenggarakan RSBI walau para guru kemampuan berbahasa Inggrisnya pas-pasan.


Kita tinjau yang terjadi dibanyak kelas RSBI diseluruh Indonesia, adalah bukunya dalam bahasa Indonesia, sang guru menjelaskan dengan bahasa Inggris yang terbata-bata serta para murid juga sembari seolah-olah mengerti padahal sama sekali tidak mengerti. Yang lucunya, banyak guru yang menyampaikannya dengan bahasa Inggris tarzan-chaya-chaya layaknya bahasa Malaysia yaitu berbaurnya bahasa Indonesia (Melayu) dengan bahasa Inggris, sungguh sangat melucukan. Cara berpura-pura internasional seperti inikah yang kita jalankan dan pertahankan pada pelaksanaan pendidikan Nasional? Tidakkah proyek RSBI ini adalah semata untuk menanggulangi biaya penyelenggaraan sekolah disamping program BOS yang telah berlangsung ? Manajemen sekolah tentu akan berlomba-lomba kearah RSBI daripada sekolah REGULAR karena uangnya di RSBI cukup besar yang dikuras dari para orang tua murid. Untuk masuk RSBI saat ini pada tingkat SMP saja mengeluarkan uang pembangunan fariatif sebesar Rp. 2 Juta s/d 4 Juta dan uang bulanannya fariatif antara Rp. 200 ribu s/d Rp. 300 ribu. Masing-masing sekolah banyak memiliki kebijakan tersendiri. Pada tingkat SMA uang pembangunan fariatif sebesar Rp. 4 Juta s/d Rp, 6 Juta dan uang bulanannya fariatif antara Rp. 300 ribu s/d Rp. 500 ribu. Para Kepala sekolah dalam melaksanakan proyek RSBI tidak terlalu sulit dan rumit dalam laporan keuangannya seperti pelaporan realisasi keuangan sekolah regular yang memakai dana BOS. Seandainya ada manipulasi keuangan di proyek RSBI, pengawasan adalah sangat lemah dan tingkat pertanggung jawabannya tidak seberat dana BOS. Oleh karena itu program RSBI sangat disukai oleh para guru dan kepala sekolah karena uangnya banyak dan lebih besar dari sekolah swasta.

"Selama ini, pengelolaan dana di sekolah-sekolah tersebut (RSBI dan SBI) kurang tebuka karena menggunakan sistem block grant," kata Ketua DPR RI, Marzuki Alie, dalam pidato pada rapat paripurna DPR RI pembukaan masa persidangan IV Tahun sidang 2009-2010, di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarata, Senin (12/7/2010). "Masalah tersebut diantaranya lemahnya pengawasan pengelolaan dana serta masih terbatasnya tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi serta kompetensi pembelajaran bilingual (dua bahasa)," ungkap Marzuki.

SBI dan RSBI melanggar UUD 1945


Sekolah berlabel internasional (SBI) atau rintisan SBI adalah inkonstitusional karena melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, bukan pendidikan internasional.

"Sekolah berlabel internasional, ini di luar sistem pendidikan nasional yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Namun sepanjang UU No 20 Tahun 2003 Pasal 50 yang mengatur pengembangan sekolah berlabel internasional ini tidak dihapus, sekolah-sekolah ini akan terus dikembangkan," kata Pengamat Pendidikan Darmaningtyas.

Darmanintyas mengatakan SBI merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang melanggar konstitusi. "Namun itu sulit dihentikan karena UU Sisdiknas mewajibkan setiap kabupaten/kota harus mengembangkan sedikitnya satu satuan pendidikan yaitu minimal satu SD, SMP, SMK, dan SMA yang berlabel internasional. Karena itu, untuk menghentikan ini, Pasal 50 UU Sisdiknas tersebut harus diubah. Tidak mungkin Pemerintah bertindak, kalau bunyi undang-undangnya tidak diubah," tegasnya.

Sebenarnya sekolah SMP dan SMA yang melakukan proyek RSBI adalah sepenuhnya dibiayai oleh para orang tua layaknya seperti sekolah swasta. Peran pendanaan pemerintah sudah sangat sedikit. Kalau kita mengamati beberapa sekolah SMA saat ini, banyak juga yang tidak melaksanakan RSBI akan tetapi menejemen sekolah mensetarakan kurikulumnya sesuai dengan RSBI bahkan lebih. Sekolah SMA seperti ini, sekarang membebani para orang tua murid dengan biaya yang cukup besar rata-rata untuk dana pembangunan Rp. 4 Juta s/d Rp. 6 Juta dan uang bulanan Rp. 250 ribu s/d Rp. 450 ribu yang berfariasi pada beberapa sekolah. Alasan manajemen sekolah karena pemerintah tidak lagi membiayai penuh untuk tingkat SMA (didasari dengan wajib belajar selama 9 tahun sampai SMP) sehingga SMA sudah tidak lagi dibiayai oleh Pemerintah. Kalau demikian, kemanakah dana APBN yang sudah direalisasikan sebesar 20% untuk pendidikan Nasional ? Dengan pendanaan pemerintah yang sangat minim, sebenarnya SMP yang RSBI dan SMA-RSBI serta SMA Non RSBI adalah pada posisi sekolah swasta yang berstatus negeri, bahkan biaya sekolah SMA swasta saat ini bisa lebih murah pembiayaannya dibandingkan dengan sekolah SMA negeri.  
Untuk kualitas pendidikan, akan sangat tergantung dari manajemen sekolah masing-masing. Sangat disayangkan apabila kita memperhatikan tata-cara SMP dan SMA dalam mengikuti Ujian Nasional (UN) yang membiarkan masing-masing siswa bisa saling contek mencontek dan bisa melihat bocoran jawaban di SMS dari persetujuan para kepala sekolahnya masing-masing, maka kualifikasi semua SMP dan SMA menjadi amat sangat rendah.

Menyinggung anggaran pendidikan nasional, Mendiknas menyampaikan, pada 2010 sebesar Rp.225 triliun, dari jumlah tersebut senilai Rp.141 triliun habis untuk tunjangan guru dan dosen. Sedangkan sampai 2014, tambahnya, simulasi anggaran pendidikan nasional sebesar Rp.330 triliun, dengan alokasi gaji guru dan dosen mencapai Rp.243 triliun. Adanya realisasi anggaran APBN sebesar 20% untuk dana pendidikan tidakkah kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita setara pendidikan bangsa maju yang dapat menjangkau kemampuan seluruh anak didik bangsa Indonesia ? Sehingga tidak ada satupun anak didik bangsa yang tidak dapat bersekolah.

Kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing sekolah sejak dari SD dan SMP untuk melakukan ujian sekolah tidak ada artinya jika masing-masing SMP dan SMA menetapkan Passing Grade (PG) yang diambil hanya nilai dari Ujian Nasional (UN) sedangkan Nilai Sekolah yang didasari dari ujian sekolah tidak dimanfaatkan. Kita ketahui bersama bahwa kualifikasi pelaksanaan UN yang saling contek-mencontek dan saling membocorkan jawaban soal adalah merupakan cara memanipulasi angka nilai UN menunjukkan semakin amburadulnya tata-cara dasar penilaian murid untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ujian sekolah yang dilaksanakan oleh masing-masing sekolah yang sama materi mata pelajarannya dengan mata pelajaran UN yang dikonotasikan dengan NS (Nilai Sekolah)  diharapkan sebagai bagian penentuan Passing Grade untuk dasar penilaian sebagai Nilai Akhir (NA), tidak ada artinya dan diabaikan oleh keputusan Pemerintah Daerah. Cukup besar juga totalitas biaya untuk mengadakan Ujian Sekolah pada masing-masing daerah diseluruh Indonesia.  Jika setiap sekolah SMP 300 murid siap ujian akhir sekolah (UAS), masing-masing murid 60 lembar soal ujian ditambah 4 lembar jawaban soal, maka biaya UAS yang dikeluarkan bisa sebesar lebih kurang Rp. 8.500.000,-/sekolah SMP. Sedangkan jumlah SMP diseluruh Indonesia ada sebanyak 43.666 sekolah negeri dan swasta. Bandingkan dengan biaya UN tahun 2011 sebesar lebih kurang Rp. 592 Milyar.   

Jika demikian, akankah berlanjut tata-cara penilaian yang semerawut ini dilangsungkan lagi kedepan ? Keledai yang paling bodohpun tidak akan terperosok pada lubang yang kedua kalinya, atau keledai bodoh itu belum mengetahui yang namanya komisi fulus (Ashwp).

http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/13/pendidikan-nasional-yang-amburadul/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar