Mahalnya Biaya Masuk PTN, Dimana Tanggung Jawab Pemerintah?
(Potret Suram Pendidikan Akibat Pendiktean Liberalisasi)
DR. Yasir Ibrahim -LS DPP HTI
Pendahuluan
Berbagai model penerimaan mahasiswa baru di beberapa Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) di Indonesia, terutama yang dulu berstatus badan hukum milik negara
(BHMN), berubah menjadi BLU (Badan Layanan Umum) hampir sama cuma membedakan
tata kelola keuangan separuh disetor ke pemerintah masuk kas negara dan separuh
masuk ke kas Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Dengan BLU ini tetap biaya
mahal sehingga keluhan berbagai kalangan lantaran sudah memberatkan mahasiswa
karena biayanya sangat tinggi. Beragam nama pun muncul, mulai dari jalur umum,
jalur khusus, jalur prestasi, jalur alih jenjang, dan sejumlah nama lainnya. Pada
jalur umum saja dikabarkan biaya masuk bisa mencapai Rp 100 juta. Jumlah itu
belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP) yang bervariasi. Bahkan tarif
yang cukup mahal juga berlaku bagi calon mahasiswa yang menempuh jalur
penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Apalagi jalur khusus, yang biasa
disebut “jalur tol”, mungkin biaya itu bisa lebih mahal lagi. Mahalnya biaya
masuk dan kuliah di PTN dipandang beberapa pengelola perguruan tinggi sebagai
upaya “subsidi silang” antara mahasiswa kaya dan miskin. Salah satu PTN yang
dulu masuk BHMN menyebut biaya operasional per tahun sekitar Rp 1 triliun,
sedangkan dana dari pemerintah hanya sekitar Rp 300 miliar. Kekurangannya,
antara lain, ditutupi dari mahasiswa yang menempuh “jalur khusus” ini.
Ada yang menarik dalam sebuah petikan dialog antara sang Ibu dengan anaknya:
“Ah, saya lulus sekolah mau kerja aja, bu”, celetuk beberapa murid kelas XII
SMUN ketika mendapat penjelasan mengenai penutupan jalur mandiri penerimaan
masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan dan SNMPTN ujian tulis tahun akademik
2011/2012.
Jawaban yang mungkin membuat kita terperangah heran. Tapi menelisik alasan
mereka yang mengatakan tidak adanya biaya untuk kuliah mungkin membuat kita mafhum,
walau sulit. Mengapa memilih SMUN apabila tidak bertujuan meneruskan sekolah ?
Bukankah sebaiknya mereka memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ? Mungkinkah
iklan layanan masyarakat mengenai SMK tidak cukup mengedukasi ? Atau mungkin
mereka masih menaruh asa untuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ?
Mengingat mereka adalah siswa berpotensi, tapi kondisi keuangan orang tua tidak
memungkinkan.
Problematika SNMPT PTN di Indonesia
Penyelenggaraan SNMPT tahun 2011 mengalami kenaikan peserta, Menurut Prof
Djoko Santoso Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan
Nasional Sebanyak 118.233 peserta dari 540.953 peserta ujian tulis dan ujian
keterampilan pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun
2011 dinyatakan lulus. Dari sebanyak 118.233 peserta SNMPTN yang diterima
terdiri atas 56.856 peserta kelompok IPA dan 61.377 kelompok IPS. Jumlah
pendaftar pada tahun ini meningkat dibandingkan tahun lalu 447.201 peserta. Ada
kenaikan pendaftar sebanyak 20,96 persen. Jumlah total yang diterima meningkat
dibandingkan tahun lalu yakni 92.511 peserta. Adapun daya tampung juga
meningkat dari 96.684 kursi pada tahun lalu menjadi 119.041 kursi pada tahun
ini. Untuk tahun ini terdapat sebanyak 808 bangku kosong. Jumlah ini menurun
drastis dibandingkan tahun lalu sebanyak 4.173 kursi kosong.(http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/06/28/56194/Ada-118.233-Peserta-Lulus-Ujian-Tulis-SNMPTN-2011).
Adanya kenaikan peserta SNMPT berarti kuantitas biaya pendidikan di PTN
semakin besar untuk pemasukan kas Negara. Semakin lama biaya pendidikan di
Indonesia makin tak berperikemanusiaan. Biaya kuliah di luar negeri tak jarang
bisa lebih murah dibanding PTN dalam negeri. Jadi, jangan salahkan bila
anak-anak muda terbaik Indonesia memilih sekolah di luar negeri. Kuliah di
Indonesia betul-betul menyedihkan. Apalagi sekarang, modal pintar pun tak
menjamin seseorang bisa kuliah di PTN lantaran biaya yang tak lagi murah. PTN
tak jarang memasang tarif lebih mahal ketimbang perguruan tinggi swasta (PTS).
Padahal, Indonesia adalah negara yang memiliki lebih dari 220 juta penduduk,
namun hanya memiliki tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekitar 14 persen
dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun. Persentase tersebut sangat rendah jika
dibandingkan dengan negara tetangga yang dikenal menganggarkan dana pendidikan
cukup besar, seperti Malaysia dan Filipina. Di kedua negara ini partisipasi
pendidikan tinggi sudah mencapai 38-40 persen. Pendidikan bermutu memang
membutuhkan biaya besar. Selama ini, perguruan tinggi di Indonesia kalah saing
dengan yang di luar negeri. Sejak 1980-an, negara-negara maju mendapatkan
income besar dari sektor jasa. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan
besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan
Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105). Pada 2000, ekspor jasa
pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun. Di Inggris,
sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 persen dari
penerimaan sektor jasa negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi
rahasia berjudul Intelligent Export mengungkapkan bahwa pada 1993 sektor jasa
telah menyumbangkan 20 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga
kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total Negeri Kanguru tersebut. Sebuah
survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling menonjol orientasi
ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa
pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia
pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa ketiga negara maju tersebut
amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.
Kapitalisasi yang merupakan pesanan para kapitalis tidak hanya menimpa dunia
pendidikan. Patut disadari bahwa kebijakan global ini juga menimpa sektor
ekonomi, politik, sosial, dan sektor lainnya yang akan mengebiri peran dan
fungsi negara sebatas pelegalisasian kebijakan. Padahal, fungsi negara adalah
mengurusi urusan rakyat, yaitu terpenuhinya segala kebutuhan rakyat. Kita dapat
melihat bahwa sebuah sistem tidak dapat berdiri sendiri. Masalah pendidikan
tidak hanya masalah pada sistem pendidikan semata. Namun, permasalahan ini juga
terkait dengan ekonomi, hukum, dan lainnya yang menyangkut sistem pemerintahan
sekarang ini yang cenderung kapitalistik. Dengan paradigma sistem kapitalistik
maka masuk akal jika segala sesuatu dinilai dari materi. Jadi, kalau mau
pendidikan bagus otomatis harus dengan biaya tinggi. Dengan paradigma sekarang,
pemerintahan hanya berharap pemasukan untuk kas negara dari sektor pajak
termasuk bidang pendidikan.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66/2010, pemerintah (Kemendiknas) dengan
tegas menentukan 60 persen kuota mahasiswa baru PTN dilakukan melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMTPN). Sisa 40 persen
merupakan jalur masuk yang berbasis uang (menuntut calon mahasiswa untuk
mengeluarkan dana lebih untuk masuk ke suatu PTN) dan diadakan setelah SNMPTN
berakhir, khususnya di tahun 2011 ini. Jalur masuk berbasis uang ini memiliki
banyak nama, mulai dari Ujian Mandiri (UM), Ujian Masuk Bersama (UMB), Seleksi
Masuk (SIMAK), dan yang terakhir, mungkin bisa diperdebatkan dalam artikel ini,
adalah Jalur Undangan. Khusus Jalur Undangan ini merupakan program seleksi dua
tahap (undangan dan tertulis) dengan jumlah peserta seleksi jalur undangan yang
dinyatakan lolos dan diterima di PTN seluruh Indonesia sebanyak 46.706 peserta
atau 20 persen dari semua pendaftar atau peserta seleksi yang mencapai 232.948
orang di tahun 2011. Anehnya, jalur undangan ini diadakan sebelum jalur SNMPTN.
Tentu hal ini bertentangan dengan keputusan Kemendiknas yang melarang jalur
masuk berbasis uang diadakan sebelum SNMPTN.
Namun benarkah Jalur Undangan ini berbasis uang? Mari kita telaah lebih
lanjut. Seperti yang telah diutarakan di atas, Jalur Undangan ini merupakan
program seleksi dua tahap (undangan dan tertulis). Setelah calon mahasiswa yang
berprestasi secara akademik (dilihat dari nilai rapor) diundang, mereka wajib
mengikuti ujian tertulis.
Ada fakta mengukuhkan biaya yang relatif mahal perihal Jalur Undangan
seperti dalam kutipan berikut ini :
Bagaimana dengan biaya? tidak bisa dinafikan biaya pendidikan di
perguruan tinggi negeri memang mahal. Institut Teknologi Bandung memperkirakan
pembiayaan sekitar Rp 27 juta/mahasiswa/tahun atau sebesar Rp 108 juta apabila
mahasiswa mampu menyelesaikan pendidikan dalam 4 tahun. Jumlah tersebut sudah
termasuk BPPM (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar diMuka) sebesar Rp
55 juta dan Rp 80 juta khusus SBM (Sekolah Bisnis dan
Manajemen).(www.Kompasiana.com)
Berbeda dengan ITB yang menutup jalur mandiri, Universitas
Indonesia sedari awal memang tidak membuka jalur mandiri. Tetapi
menyelenggarakan SIMAK UI yang tahun ini akan dimulai 3- 24 Juni
2011. UI mengklaim biaya pendidikannya lebih berazaskan keadilan. Komponen
biaya pendidikan S1 Reguler terdiri dari Biaya Operasional Pendidikan
sebesar RP 100 ribu hingga maksimal Rp 5 juta (Prodi IPS) dan Rp 7,5 juta
(Prodi IPA). Biaya lainnya yaitu Uang Pangkal yang besarannya nol rupiah, Rp 5
juta, Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (tergantung fakultasnya, termasuk disini
fakultas kedokteran). Bagi mahasiswa yang tidak mampu dapat mengajukan
permohonan cicilan atau pengurangan uang pangkal. (www.Kompasiana.com)
Pembanding lain adalah UNPAD yang menyelenggarakan SMUP UNPAD dan
mensyaratkan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan sebesar Rp 2 juta ditambah Dana
Pengembangan yang jumlahnya bervariasi antara Rp 12 juta (sastra daerah, sastra
Perancis), Rp 57 juta (Ekonomi Akutansi berbahasa Inggris) hingga Rp 177 juta
(Kedokteran). (www.Kompasiana.com)
Bagaimana dengan Universitas Gajah Mada (UGM)? UGM menyelenggarakan
Penelusuran Bakat Swadana (PBS). UGM mematok Sumbangan
Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) terendah Rp 10 juta (Filsafat), Rp 50 juta (
Ekonomi Akutansi /Ekonomi Manajemen) hingga Rp 100 juta (Kedokteran).
(www.Kompasiana.com)
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa, selain biaya iuran
kuliah, ada semacam biaya “sumbangan” yang cukup besar yang harus dibayarkan
calon mahasiswa dan biaya “sumbangan” terbesar, selain kedokteran, terdapat
pada program Jurusan Manajemen (Ekonomi/Akutansi). Program Jurusan Manajemen
ini yang notabene banyak peminatnya, tampaknya merupakan pundi-pundi emas bagi
PTN tersebut di atas. Ketika idealisme PTN telah berubah haluan menjadi bisnis
semata, lalu apakah yang membedakan antara PTN dengan PTS? Patutkah kita
menyimpulkan bahwa Jalur Undangan merupakan Jalur Mandiri yang berganti “kulit”
hanya untuk menghindari ketetapan Kemendiknas yang melarang jalur berbasis uang
tersebut diadakan sebelum SNMPTN?
Apabila pemerintah kita mau jauh-jauh datang ke India untuk studi banding
(atau mungkin sudah?), tentu mereka akan mengetahui bahwa PTN di India memang
ditujukan ke masyarakat India dari kalangan ekonomi lemah yang ingin menimba
ilmu. Sebaliknya, PTS, dengan segala fasilitas dan kemudahannya, ditujukan bagi
masyarakat India dari kalangan ekonomi mampu. Fasilitas dan kemudahan tersebut
tentu diiringi dengan biaya yang tidak sedikit pula. Hebatnya, mereka yang
mampu merasa enggan untuk kuliah di PTN sehingga tidak berebut kursi dengan
mereka yang tidak mampu secara ekonomi. Tapi apakah PTN di India lebih baik
dari PTS? Tentu tidak! PTN disini merupakan perguruan tinggi yang bersubsidi.
Titik.
PTN di Indonesia pun tidak seharusnya menggarap pangsa pasar untuk program
S1. Stated-Owned Universities di Amerika umumnya tidak menggarap
program-program undergraduate (S1) karena PTN tersebut telah terfokus
ke arah penelitian (research-based university) sehingga hanya
menggarap utnuk program pascasarjana (S2) dan doktorat (S3) saja. PTN Amerika
tidak lagi memikirkan untuk berkompetisi dengan PTN dan PTS lokal, tetapi sudah
berorientasi menuju world class university. Sedangkan, program S1 dan
sederajat umumnya dikelola oleh PTS dan terkadang dikenal dengan nama college.
Beberapa college bisa berada di bawah naungan satu PTN. Bagaimana
dengan PTN di Indonesia? Tidak hanya menggarap program S1 tetapi juga program
D3. Bahkan calon mahasiswa yang fanatik PTN tidak masalah diterima di D3 dan
berharap untuk lanjut S1 (ekstensi) setelah lulus D3 di PTN tersebut. Toh
mereka hanya perlu menambah 1 tahun saja. Lalu kapan PTN-PTN Indonesia bisa
segera fokus menjadi perguruan tinggi kelas dunia?
Tentulah kondisi pendidikan tinggi yang carut marut di Indonesia ini akan
menghancurkan mental mereka-mereka yang berharap dapat mengenyam pendidikan
berkualitas di PTN-PTN top dan orang tua-orang tua calon mahasiswa saat ini
akan jauh lebih realistis (tidak PTN-minded seperti tempo dulu) dan pada
akhirnya akan memilih PTS-PTS yang juga tidak kalah kualitasnya.
Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta,
sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta.Tingginya biaya tersebut
semakin memperkecil akses masuk ke PT.(www.kompas.com,12/05/2008). Demikian
benang merah persoalan menyangkut biaya masuk perguruan tinggi negeri yang
didapatkan Kompas dalam pencarian selama sepekan terakhir, mulai dari Jakarta
(DKI Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), Bandung (Jawa Barat), Surakarta (Jawa
Tengah), Surabaya (Jawa Timur), hingga Makassar (Sulawesi Selatan). Besar biaya
masuk perguruan tinggi negeri (PTN) tersebut bergantung pada program S-1 yang
diambil serta bidang ilmu yang dipilih. Program tersebut beragam dan berbeda
antara satu PTN dan PTN lain. Bahkan, ada PTN yang membuka program
internasional. Pada program ini, mahasiswa membayar biaya berlipat-lipat
dibandingkan program reguler pada setiap semesternya. Bagi para calon mahasiswa
yang gagal masuk melalui program S-1 reguler lewat seleksi nasional masuk PTN
(SNMPTN), hampir semua PTN yang dihubungi memiliki program non-SNMPTN. Biaya
masuk program non-SNMPTN ini lebih tinggi dibandingkan jalur SNMPTN. Program
non-SNMPTN ini pun berbeda antara satu PTN dan PTN lain-ada yang memiliki lebih
dari lima program. Semua angka tersebut bisa kita bandingkan dengan biaya
kuliah di National University of Singapore yang biayanya (tuition fee) berkisar
9.540 dollar Singapura hingga 27.350 dollar Singapura atau di Malaysia,
Universitas Kebangsaan Malaysia, yang memasang biaya 1.167 ringgit Malaysia
hingga 1.500 ringgit Malaysia.
Untuk kelas internasional dari sejumlah program seleksi penerimaan mahasiswa
baru, yang termahal adalah jalur internasional. Universitas Indonesia pada
tahun ini menerapkan jalur tersebut. Rektor Universitas Indonesia Prof Gumilar
Rusliwa Somantri menjelaskan, selain program S-1 reguler, pihaknya membuka
kelas internasional untuk Fakultas Kedokteran, Teknik, Ekonomi, Psikologi, dan
Ilmu Komputer bekerjasama dengan Universitas Queensland, Australia, untuk
program double degree dan penggunaan tenaga pengajar asing.Biaya kuliah per
semester tiga kali lipat program S-1 reguler. Untuk Kedokteran, uang pangkal
(biaya masuk) Rp 70 juta, dengan biaya per semester Rp 35 juta. Fakultas Teknik
uang per semester Rp 20 juta, uang pangkal Rp 15 juta, sedangkan Ekonomi uang
pangkal Rp 26 juta dan Rp 25 juta per semester.
Sementara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, jalur non-SNMPTN at ada
dua, yaitu penelusuran bibit unggul sekolah (PBUS) dan penelusuran minat dan
kemampuan (PMDK). Mereka yang gagal di PMDK bisa menggunakan program PBUS
dengan u dikenal jalur untuk orag kaya syarat sama, nilai rapor SMA semester
I-V rata-rata 7,0 dan tak ada nilai di bawah 5,0. Sumbangan pembinaan
pendidikan dari program-program itu sama, yaitu Rp 660.000 per semester. Namun,
bagi PBUS masih ditambah biaya pengembangan institusi (BPI), untuk Fakultas
Kedokteran Rp 100 juta, tetapi hanya Rp 2,5 juta bagi yang lewat PMDK. Untuk
jurusan lain, BPI rata-rata di bawah Rp 10 juta. Sementara itu, di Institut
Teknologi 10 Nopember Budi Santosa, ada 5 kategori PMDK, di antaranya PMDK
beasiswa. Mereka yang lolos PMDK beasiswa bebas uang gedung dan SPP. Mereka
adalah pelajar dengan nilai akademis menonjol. Sementara di Universitas
Airlangga ada empat jalur PMDK (umum, prestasi, alih jenjang, dan diploma).
Dari wilayah timur Indonesia, Universitas Hasanuddin membuka tiga jalur
non-SNMPTN, yaitu jalur nonsubsidi (JNS), jalur penelusuran potensi belajar,
dan jalur prestasi olahraga, seni, dan keilmuan. Yang termahal adalah JNS. Pada
jalur ini mahasiswa membayar rata-rata uang kuliah Rp 20 juta setahun,
sedangkan dari jalur SNMPTN rata-rata hanya Rp 1,5 juta setahun. Kepala Humas
Unhas Dahlan Abubakar mengatakan, dana tersebut untuk subsidi
silang.(Kompas,./2008/05/12).
Dengan fakta di atas bahwa pemerintah mengurangi beban tanggung jawab di
bidang pendidikan. Mengapa Pemerintah meminimalkan perannya-bahkan cenderung
melepaskan tanggung jawabnya-dalam pembiayaan pendidikan? Pertama:
karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan
dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang
bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market
based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar
itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan,
Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli
apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah
akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para
investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas
dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah
dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak
bersekolah.
Agenda utama ekonomi Kapitalisme global adalah menguasai (baca: menjajah)
negara-negara Dunia Ketiga yang notabene adalah negeri-negeri Muslim,
termasuk Indonesia. Hilangnya peran negara dalam pendidikan ini tidak terlepas
dari agenda Kapitalisme global. Dampak buruknya antara lain adalah:
Pertama,
terjadinya ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Tidak terjangkaunya biaya pendidikan
akan menyebabkan banyaknya generasi umat yang tidak gagal mengembangkan potensi
dirinya sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh. Selain itu,
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Pendidikan
berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan
menengah ke atas. Mereka dengan pendapatan menengah ke bawah akan putus sekolah
di tingkat SD, SMP, atau paling tinggi SMU. Padahal sekolah dapat menjadi pintu
perbaikan kompetensi masyarakat agar mereka mampu merancang perbaikan taraf
hidupnya.
Kedua, langgengnya penjajahan Kapitalisme di Indonesia. Sebagaimana
diketahui, kunci utama untuk keluar dari penjajahan dan menuju kebangkitan
adalah peningkatan taraf berpikir umat. Pendidikan merupakan unsur penting
dalam peningkatan taraf berpikir umat tersebut. Sumberdaya alam (SDA) yang
melimpah di suatu negara menjadi tidak berfungsi optimal manakala tidak
didukung dengan SDM yang terdidik. Kondisi SDA Indonesia saat ini mulai
menciut. Jika ditambah dengan SDM yang tidak terdidik maka nasib Indonesia akan
semakin tenggelam dalam cengkeraman negara-negara kapitalis dalam rentang waktu
yang sangat panjang. Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk
kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) peserta didik serta
membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan
kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi
sebagaimana kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya.
Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan
murah/gratis. Negara juga harus memberikan kesempatan kepada warganya untuk
melanjutkan pendidikan tinggi secara murah/gratis dengan fasilitas sebaik
mungkin (An Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 283-284).
Solusi Tanggung Jawab Negara Mengurusi Pendidikan Rakyat
Saat ini kondisinya sudah berubah bisa diterima di PTN kini bukanlah
kebanggaan karena prestasi melainkan kemampuan baiay keuangan gak mampu
dibayarkan oleh orang tua calon mahasiswa baru. Dulu PTN adalah harapan bagi
lulusan SMA yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, kini biaya
kuliah PTN makin tidak terjangkau karena sangat mahal, sejajar dengan PTS yang
biaya penyelenggaraan pendidikannya ditanggung sendiri secara swadaya meliputi
pengadaan sarana prsarana kampus sampai pembayaran gaji dosen. Perguruan Tinggi
merupakan jembatan bagi lulusan SMA sebelum memasuki dunia kerja, banyak
ilmu-ilmu praktis yang bisa dipraktikkan jika memang PTN butuh dana lebih besar
dari subsidi yang diterima. Sudah saatnya pemerintah menetapkan standarisasi
biaya masuk yang murah pendidikan di PTN sehingga masing-masing tidak
mematok biaya menurut aturannya sendiri atau pemerintah mengratiskan biaya
masuk PTN. Konsep pendidikan murah/gratis ini telah diterapkan oleh Khilafah
Islam selama kurang lebih 1400 tahun, yaitu sejak Daulah didirikan di Madinah
oleh Rasulullah saw. hingga Khilafah Ustmaniyah di Turki diruntuhkan oleh
imperialis kafir pada tahun 1924 M. Selama kurun itu pendidikan Islam telah
mampu mencetak SDM unggul yang bertaraf internasional dalam berbagai bidang. Di
antaranya adalah Imam Malik bin Anas (w. 798), Imam Syafii (w. 820), Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 855), dan Imam Bukhari (w. 870) sebagai ahli al-Quran, hadis,
fikih, dan sejarah; Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur;
al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi; al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika; ar-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia; Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik; Ibnu al-Bairar (al-Nabati) sebagai ahli pertanian
khususnya botani, dan masih banyak lagi.
Dalam sistem Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan
pengurusan dan tanggung jawab. Penguasa Islam, Khalifah, bertanggung jawab
penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Setiap warga negara harus dijamin
pemenuhan kebutuhan dasarnya oleh negara, termasuk dalam pendidikan. Hal ini
disandarkan pada sabda Rasulullah saw.:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan
dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Darimana Khalifah mendapatkan sumber dana untuk menjalankan pendidikan
gratis dan bermutu?
Sumber dana untuk pendidikan bisa diambil dari hasil-hasil kekayaan alam
milik rakyat. Dalam pandangan syariah Islam, air (kekayaan sungai, laut),
padang rumput (hutan), migas, dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak
adalah milik umum/rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ
شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, hutan dan energi. (HR
Ibn Majah).
Khalifah bertugas untuk memenej pengeloaan sumberdaya alam tersebut dan
mendistribusikannya kepada rakyat, misalnya untuk pendidikan gratis, pelayanan
kesehatan gratis, dan sebagainya. Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem
ekonomi Islam diterapkan oleh negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya
alam milik rakyat.
Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa keluar dari berbagai krisis yang
membelenggu, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara kâffah baik
dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya.
Sungguh, hanya dengan syariah Islam dalam institusi Khilafah sajalah kita bisa
meraih kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
Kemuliaan
itu hanyalah milik Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin. Namun, orang-orang
munafik itu tidak akan mengetahuinya. (QS
al-Munafiqun [63]: 8).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar