Kamis, 07 Januari 2010

Gawat Darurat Pendidikan Nasional


Hakikat Keputusan Mahkamah Agung

Larang Ujian Nasional (UN) 2010


Berdasarkan informasi keputusan perkara di situs resmi MA, perkara gugatan dari warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono beserta kawan-kawan tersebut diputuskan pada 14 September 2009 lalu oleh Tim majelis hakim yang beranggotakan Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.

Amar putusannya adalah : “Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional (UN), dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq. Presiden RI cq. Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq. Presiden RI cq. Menteri Pendidikan Nasional cq. Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono beserta kawan-kawan (selaku para termohon Kasasi, para Penggugat/para Terbanding)”
Atas keputusan tersebut diatas, Mahkamah Agung (MA) pada hakikatnya melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN) 2010. MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan adanya putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh wilayah daerah Indonesia.


Keputusan MA dengan Nomor Register 2596K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan hukum Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih melaksanakan UN pada tahun 2008 dan 2009. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa ditentukan beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Presiden SBY, Wakil Presiden JK, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang S, dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban hasil UN dibeberapa daerah.

Pemerintah selama ini dinilai telah lalai meningkatkan kualitas kemampuan guru, termasuk sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN. Pemerintah diminta pula untuk segera mengambil keputusan konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN. Melihat kasus dilapangan, kita tinjau kilas balik kejadian kelulusan tahun 2005 ada kasus dalam suatu sekolah tidak ada satu  siswa-pun yang lulus. Selanjutnya ada lagi siswa juara olimpiade fisika juga tidak lulus UN.  Di Pontianak ada siswa yang dalam keseharian nya tidak banyak ulah malah jadi korban UN, sehingga siswa tersebut depresi dan akhirnya bunuh diri.

Meski MA melalui putusan perkara dan kasasi bahwa pemerintah dilarang melaksanakan UN sebagai standar baku kelulusan siswa. Dalam hal ini, pemerintah masih bersikeras agar UN tetap dilaksanakan. Untuk melegalkan misi itu, pemerintah SBY (2009-2014) melalui menteri Menteri Pendidikan Nasional yang baru Prof.DR.Ir.Mohammad Nuh dan BSNP akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) dilarang. Inilah tinggal satu-satunya peluang yang tersisa bagi pemerintah untuk melegalkan pelaksanaan UN.

Bila PK ini dimenangkan oleh pemerintah SBY, maka UN 2010 akan legal dilaksanakan tetapi banyak mengundang permasalahan kedepan dari masyarakat. Namun, jika PK ini ditolak, maka secara yuridis pemerintah dilarang melaksanakan UN 2010. Ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah terutama Mendiknas. Pelaksanaan UN tanpa dasar hukum berpoteni menjadi tindakan pelanggaran hukum pidana (kriminal) kepada negara termasuk telah “menghabiskan anggaran negara untuk kegiatan melawan hukum”.
“Jika pemerintah SBY bersikeras/ngotot melaksanakan UN 2010, dapat di turunkan oleh rakyat melalui DPR-RI didasari dengan mosi tidak percaya rakyat kepada Pemerintah”.

Yang jelas bukan UN yang dibutuhkan oleh pendidikan Indonesia saat ini. UN itu cuma bagian instrumen untuk mengukur hasil pendidikan kita secara nasional yang memang sangat tidak adil jika dipakai sebagai standar kelulusan yang disamakan antara Jakarta dan Papua. Bagaimana mungkin Papua yang masih menghadapi masalah buta huruf diwajibkan memiliki standar kelulusan yang sama dengan Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan ? Bagaimana mungkin kinerja sekolah di pelosok Indonesia yang gedungnya mau roboh dan gurunya sangat kurang kualifikasinya dan jarang datang, tak punya buku, siswa-siswanya masih belum lancar membaca diminta bisa bersaing dengan sekolah di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan ? Semestinya Ujian Nasional pertama-tama dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai kinerja pemerintah (dalam hal ini dinas pendidikan) dalam menyelenggarakan pendidikan. Jadi bukan untuk mengukur kinerja siswa dulu. Siswa itu kan hanya menerima pelayanan pendidikan dan bukan pelaku yang menentukan kualitas pelayanan pendidikan itu sendiri. Lantas kenapa siswa yang harus menerima resiko dan hukumannya jika pelayanan pendidikan di daerah atau sekolahnya buruk? Kenapa bukan Dinas Pendidikannya yang dicopot jabatannya lebih dahulu? Mereka lebih pantas untuk menerima resiko dari buruknya pelayanan pendidikan kita ketimbang siswanya yang tidak tahu harus berbuat apa agar bisa mengejar ketertinggalan dengan siswa Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan ? Mayoritas Siswa Papua dan di beberapa daerah belum butuh UN agar dianggap setara dengan siswa di Jakarta. Mereka masih berjuang untuk membuat siswanya bisa membaca dan berhitung matematika.

Adalah salah besar jika Pemerintah (DEPDIKNAS) menganggap bahwa solusi atau obat mujarab untuk mengatasi masalah meningkatkan kualitas pendidikan tersebut adalah dengan menerapkan sebuah ujian yang berskala nasional. Dengan asumsi kalau siswa sudah melakukan Ujian yang berstandar Nasional yang sama dengan di Pulau Jawa maka kualitas pendidikan mereka akan berangsur-angsur setara, meskipun seamburadul apa pun kualitas pelayanan pendidikannya.
Sekolah tanpa perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga pun bisa membuat siswa lulus UN. Kalau cuma hanya untuk bisa mengerjakan soal UN bahkan siswa tidak perlu sekolah. Serahkan saja ke bimbingan belajar. Apakah itu yang kita inginkan (menyuburkan lapak bimbingan belajar)? Akhirnya bukan proses pembelajaran yang diberikan pada siswa tapi kiat-kiat untuk mengerjakan soal UN. Apakah  DEPDIKNAS (Pemerintah) tidak sadar betapa berbahayanya situasi yang dimunculkan oleh UN ini? Ini akhirnya membuat sekolah-sekolah tergiring menjadi berstatus bimbingan belajar UN semua dan tidak mengajarkan ketrampilan hidup untuk bekal kemandirian mereka di masa depan. Mereka  para guru akhirnya hanya mengajarkan, kiat-kiat untuk mengerjakan soal UN. Dari cara pandang demikian nampak bahwa UN ini telah membuat kita mereduksi dan menghancurkan serta memporak-porandakan tujuan pendidikan. Kita saat ini sudah tidak perduli lagi dengan tujuan pendidikan Nasional yang didasari UUD 1945 serta bagaimana proses tersebut dilakukan.

Biaya besar dari rakyat yang disiasiakan Pemerintah.
Dalam pelaksanaan UN pada tahun 2009, pemerintah telah menghabiskan uang rakyat sebesar 572 miliar rupiah (setengah triliun) untuk pelaksanaan ujian nasional. Namun sangat disayangkan, anggaran negara yang sangat besar dikeluarkan untuk pelaksanaan UN 2009 masih sarat dengan praktik ketidak jujuran dan manipulasi.

Keinginan pemerintah untuk mengadakan UN 2010 sungguh tidak adil. Kita tahu, bahwa kemampuan setiap sekolah itu berbeda apalagi didaerah pedalaman, kekurangan infrastruktur dan fasilitas hampir disemua sekolah kalau niat pemerintah ingin mengukur kualitas secara Nasional samakan dahulu kualifikasi, sarana, prasarana semua kemampuan  sekolah di seluruh Indonesia barulah terjadi keadilan pelaksanaan kualifikasi pendidikan. Setelah itu dapat terwujud maka dapatlah diusulkan pelaksanaan UN.
Banyak sekolah membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas [termasuk pengamat independen] lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi. Hal ini bahkan terjadi secara tersistematik dimana kepala dinas pendidikan di beberapa daerah tertentu ikut menfasilitasi/mendukung kecurangan UN di wilayahnya.

Kenyataan paling parah adalah terjadinya ‘mafia kunci UN’. Pada subuh hari, oknum Diknas bekerja sama dengan mafia soal untuk mendapatkan soal UN sekaligus pada pagi-paginya akan memberikan kunci jawaban kepada pemesan, baik siswa, orang tua siswa, maupun pihak sekolah.

Ketidaksiapan penyelenggaraan UN yang bersih dan jujur, membuat dunia pendidikan Indonesia menjadi tercoreng-moreng. Pendidikan yang bertujuan untuk mendidik ilmu pengetahuan dan moralitas, akhlak siswa didik pada kenyataannya telah mensosialisasikan mendidik ketidakjujuran, kemunafikan siswa itu sendiri. Disisi lain yang lebih mendasar, pelaksanaan UN tanpa persiapan yang memadai secara langsung mendidik sikap mental siswa untuk mencapai sesuatu secara mudah dan instan. Sehingga baik siswa maupun tenaga pendidik  telah membudayakan terbentuknya watak manusia tidak jujur, koruptif dan munafik semua ingin instan.

Selain itu, telah terjadi pergeseran paradigma para pendidik. Banyak tenaga pendidik di sekolah-sekolah merasa bahwa mereka mendidik siswa-siswi hanya  untuk meluluskan siswanya dari UN. Proses panjang dalam belajar-mengajar selama 3 atau 6 tahun, cuma hanya ditentukan 3-5 hari Ujian. Hal ini semakin jauh dari esensi pendidikan yakni mendidik. Sekolah dan tenaga pendidik semulanya berperan besar pada mendidik siswa dalam pengetahuan, etika dan moral, kini cenderung mengajar bagaimana lulus UN.  Hal ini pun dimanfaatkan bermacam-macam lembaga pendidikan, baik diluar sekolah maupun di internal sekolah (menjadi alasan sekolah menarik iuran dari orang tua = budaya pemerasan). Maka terjadilah pengrusakan struktural dalam realisasi pendidikan Nasional Indonesia. Untuk hal ini siapakah yang harus bertanggung jawab ? Tentu pemerintah yang zalim. Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia bergegas perlu segera mengambil tindakan Penyelamatan Gawat Darurat Pendidikan Nasional. ASWP-(000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar