Selasa, 16 Maret 2010

Wibawa Hilang Karena Plagiarisme


Guru Profesional Dan Plagiarisme

MOCHTAR BICHORI

KASUS 1.082 guru di Riau yang ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan sebagai ”guru profesional” sungguh memilukan. Dalam hati saya bertanya, apakah guru-guru ini masih dapat mengajar di sekolah mereka?

Masih ada sederet pertanyaan lain dalam kasus ini tentang guru-guru ini. Yang sungguh mengganggu pikiran saya adalah bagaimana para guru itu masih dapat mengajar dengan baik setelah mereka kehilangan wibawa (gezag) akibat peristiwa ini? Sebutan ”guru profesional” tak akan dapat mengembalikan wibawa yang hilang karena plagiarisme tadi.



Bahkan, sebutan apa pun tak ada yang dapat mengembalikan wibawa yang hilang dalam jabatan guru. Titel ”profesor” sekali- pun tak dapat mengembalikan kewibawaan seorang guru besar yang melakukan plagiat. Contoh ini merujuk kasus plagiat seorang profesor dari perguruan tinggi terkemuka di Bandung yang dimuat The Jakarta Post pada 12/11/2009. Tulisan dinilai menjiplak artikel jurnal ilmiah Australia karya Carl Ungerer.

Kita tahu betapa kasus ini sangat memalukan dan memilukan, khususnya bagi dunia akademis. Pertanyaan penting adalah bagaimana ini dapat terjadi? Khusus tentang kasus plagiat oleh sejumlah guru di Riau, jangan-jangan ada sesuatu yang salah secara fundamental dalam program profesionalisasi bagi guru-guru kita. Sejak semula saya sudah ragu tentang program ini.

Ada ketentuan bahwa mereka yang berhasil memenuhi kriteria ”guru profesional” akan dapat tunjangan jabatan. Seharusnya, tambahan penghasilan itu jadi stimulus. Ironisnya, ia hampir jadi satu-satunya alasan yang mendorong banyak guru mengejar sebutan ”profesional”. Profesionalisme dalam pengetahuan dan kemampuan kerja tidak penting! Yang penting duit! Sikap ini jelas merusak profesi guru.

Lalu, apa sebenarnya profesionalitas guru itu? Definisi kuno mengenai ini meliputi dua hal, pertama, penguasaan materi pembelajaran, dan kedua, kepiawaian dalam metode pembelajaran. Karena cepatnya perubahan yang terjadi di sekolah dan di dunia pendidikan pada umumnya, definisi harus diubah. Penguasaan materi pembelajaran berubah menjadi ”kecintaan belajar” (love for learning) dan kepiawaian metodologi pembelajaran berubah menjadi ”kegemaran berbagi pengetahuan” (love for sharing knowledge). Yang terakhir ini kemudian diperbarui lagi menjadi ”kegemaran berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan” (love for sharing knowledge and ignorance).

Mengapa terjadi perubahan- perubahan ini? Karena dunia pendidikan tidak statik. Pengetahuan berkembang terus. Metodologi pembelajaran juga berkembang terus. Kalau dulu pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai guru pada waktu ia tamat dari pendidikan guru dapat bertahun-tahun, sekarang kedua hal tadi akan menjadi ketinggalan zaman dalam waktu lima tahun.

Sekarang ini terasa betul kebenaran ucapan seorang profesor Inggris pada tahun 1954: ”If you learn from a teacher who still reads, it is like drinking fresh water from a fountain. But if you learn from a teacher who no longer reads, it is like drinking polluted water from a stagnant pool”. Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air comberan.

Dan sekarang ini, dalam abad ke-21, seorang guru baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability, yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya (verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu diri. Orang yang tahu diri tidak akan melakukan plagiat.

Saya mendapatkan kesan bahwa esensi profesionalitas guru ini tidak pernah dijelaskan kepada guru-guru yang ingin maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya dan memperbaiki kinerjanya. Kesan saya lagi, yang ditekankan dalam usaha-usaha peningkatan kemampuan (upgrading) adalah pengetahuan tentang kementerengan guru profesional. Hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik keguruan profesional. Guru-guru muda yang baru selesai ditatar jadi guru profesional tampak ganteng (handsome) atau cantik, tetapi tidak memancarkan kesan keprofesionalan yang mengandung wibawa.

Jadi bagaimana sekarang? Untuk tidak mengulangi kecelakaan yang terjadi di Riau ini, perlu ada tinjauan yang jujur terhadap program dan praktik penataran yang dilaksanakan selama ini. Susun kembali programnya sehingga meliputi hal-hal esensial yang saya sebutkan di atas.

Tentang plagiat

Plagiat berasal dari kata Belanda plagiaat yang artinya ”meniru atau mencontoh pekerjaan orang lain tanpa izin”. Jadi, plagiat merupakan suatu bentuk perbuatan mencuri. Mengapa ini dilakukan, sedangkan guru selalu berkata kapada murid untuk tidak mencontek?

Melakukan plagiat adalah perbuatan mencontek dalam skala besar. Jadi, tindakan plagiat merupakan pelanggaran terhadap etika keguruan. Guru biasa pun akan mendapatkan aib kalau sampai melanggar etika ini. Jadi, mengapa terjadi pelanggaran yang bisa menurunkan harga diri guru seperti ini?

Dugaan saya, pertama-tama adalah karena para guru di Riau tadi ingin segera mendapatkan tunjangan finansial dan julukan ”guru profesional” beserta yang menyertainya. Ini tidak mengherankan! Karena setelah bertahun-tahun hidup dalam keadaan serba kekurangan, dengan kedudukan sosial yang tidak terlalu mentereng, maka ketika datang kesempatan untuk perbaikan, mereka berebut meraih kedua perbaikan sosial tadi secara cepat. Lebih cepat, lebih baik!

Kedua, ketentuan bahwa untuk jadi ”guru profesional” seorang guru biasa harus membuat karya ilmiah tidak benar-benar dipahami artinya. Membuat ”karya ilmiah” itu apa? Yang diketahui kebanyakan guru adalah bahwa ”karya ilmiah” adalah makalah yang disusun berdasarkan pemikiran atau penelitian sendiri. Sifat ilmiah harus terlihat dari judul, metodologi, dan istilah-istilah yang digunakan.

Di antara para guru yang mengejar sebutan profesional ini selama masa studi mereka banyak yang tidak mendapat kuliah atau latihan dalam membuat karya ilmiah. Mempelajari lagi kemampuan ini dari permulaan terasa sangat berat. Maka, dicarilah jalan pintas. Membayar orang untuk menyusun karya ilmiah ini, atau membajak karya ilmiah yang sudah jadi, dan di-copy tanpa izin. Dan terjadilah plagiat.

Bagaimanapun kasus plagiat ini harus segera ditangani secara serius dan jangan sampai terulang. Ingat, hal ini berpotensi terjadi lagi dan lagi kalau kita hanya menindak mereka yang tertangkap melakukan plagiat. Harus dilakukan langkah pencegahan. Bila kita gagal menghentikan praktik buruk plagiat oleh guru-guru ini, seluruh masa depan pendidikan kita akan menghadapi kehancuran.(000)


Tulisan tambahan evaluasi Tulisan Mochtar Bikhori dari Redaksi :

1.      Kasus 1.082 guru di Riau yang tega menghinakan diri menggunakan dokukmen palsu adalah merupakan gunung es kebusukan moral para pendidik di Indonesia yang sangat memalukan dan memilukan dan mereka hanya mementingkan pengakuan peningkatan prestasi kepangkatan dan tujangan jabatan dengan duit. Guru-guru seperti ini akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan kita kedepan. Sayangnya, sistem penilaian yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan setempat, adalah juga para pelaksana pemerintah yang juga sedang memanfaatkan jabatannya semata untuk duit juga. Sehingga penilaian jujur, benar dan baik tidak terwujud dan sangat merusak profesi guru. Memang ada sesuatu budaya yang salah secara fundamental dalam program penilaian profesionalisasi bagi guru-guru kita. Untuk memberantas kerusakan ini, diperlukan penindakan serta pemberdayaan hukum yang sangat tegas sehingga menghasilkan efek jera.

2. Profesionalitas guru adalah suatu kemampuan mendidik yang piawai dalam melaksanakan penguraian materi pembelajaran dan belajar yang dilaksanakan secara ikhlas kreatif dan penuh tanggung jawab atas tugasnya dengan kecintaan untuk peningkatan kualitas hidup manusia yang didasari atas konsistensi keimanan sang guru dan mengenal serta paham dirinya siapa. (Ver. Ashwin Pulungan)

3.  Perubahan ini terjadi adalah disebabkan sistem Pemerintah yang tidak dapat memberikan gambaran kepastian masa depan yang prospek bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu kenyataan yang terjadi adalah adanya tren RSBI, SBI serta BHMN bersifat Neo-Liberal dan tidak Pancasilais Indonesia yang sangat didukung oleh Pemerintah sehingga beban biaya masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas secara gratis dan murah tidak akan dapat diperoleh. Selanjutnya, beban biaya hidup masyarakat Indonesia termasuk para guru yang semangkin hari semangkin memberat dan tidak pasti sebagai dampak dari kegagalan manajemen ekonomi Nasional. Oleh karena itu kita hari ini dan kedepan harus memilih para pemimpin yang mengerti tentang kemandirian dan  kebangkitan bangsa Indonesia. Penilaian saya, Pemerintah saat ini sudah berjalan pada track yang sangat sesat dalam dunia pendidikan Nasional. (Ver. Ashwin Pulungan)

4.      Banyak para Guru saat ini, adalah tidak mengerti akan tugasnya secara baik dan benar yang ditonjolkan hanya kesan kemewahan dan gaya kementerengan dan kosmetika fisik dan materi yang sangat sementara diperoleh dalam periode cepat bagaikan tong kosong nyaring bunyinya. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan kosongnya disaat mereka tampil mengajar didepan kelas dan disaat mengikuti pendidikan peningkatan kemampuan guru.

5.      Plagiat artinya “mencuri karya tulis orang lain dengan cara menjiplak” hal ini dilakuan oleh para Guru karena kelemahan Iman dan tidak percaya atas kemampuan diri sehingga mencari jalan pintas dan cepat (Copas=Copy Paste illegal) jahat serta berani Munafik kepada dirinya sendiri.

6.      Karya ilmiah yang dibebankan pada setiap peningkatan kemampuan guru banyak tidak disadari sebagai tulisan kemampuan pribadi yang disusun secara metodologi bersifat ilmiah yang berasal dari pemikiran atau penelitian sendiri. Bagaimana para Guru dapat menulis ilmiah secara baik dan benar  bila kemampuan bacanya sangat lemah sehingga berdampak pula kepada kualifikasi presentasi ilmiah yang juga sangat lemah.

7. Kita harus bersegera berevolusi berbenah diri untuk meningkatkan kualifikasi kemampuan disegala bidang serta menjalankan Pemerintahan yang bersih disegala sektor dan lini kehidupan sebelum terjadi gemuruh lindasan kehancuran masa depan Indonesia yang akan melindas dan memporak-porandakan NKRI sebagai dampak dari keteledoran, kegagalan realisasi pendidikan Nasional. 
Sadarkah kita semua tentang hal ini ? (Ashwin Pulungan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar