Minggu, 04 April 2010

Pemerintah Segera Evaluasi Program SBI-RSBI


Pemerintah Secepatnya Segera Evaluasi Program SBI-RSBI
Sebelum Menjadi Sangat Parah

Kita sambut gembira keputusan yang telah diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu mencabut UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menuai banyak kontroversi selama ini, mulai Rabu (21/3/2010). UU BHP itu dinyatakan tidak berlaku sejak dicabut.
Keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah atas permohonan pengujian dalam lima perkara yang diajukan berbagai elemen masyarakat peduli pendidikan. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD, UU BHP bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, UU BHP itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum. UU BHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945.

Dalam penyusunan UU BHP, pemerintah dan DPR tidak mematuhi rambu-rambu yang telah dibuat MK sebelumnya. UU BHP seharusnya tidak menyeragamkan lembaga pendidikan menjadi BHP. Seharusnya keragaman lembaga pendidikan yang ada diakomodasi.


Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid meminta Mendiknas Mohammad Nuh mengevaluasi UU BHP yang merupakan produk dari Mendiknas sebelumnya. Juga terkesan secara tidak disadari telah memasukkan konsepsi me-Liberalkan pendidikan Nasional.

Sementara itu, Kemendiknas menyatakan siap melaksanakan putusan MK tanpa harus mengaku kalah. "Posisi pemerintah adalah melaksanakan aturan perundangan. Karena Itu. pemerintah mentaati dan menghormati setiap putusan lembaga-lembaga negara sesuai dengan tugasnya, balk yang terkait dengan hukum, pemerintahan, maupun Hankam." kata Mendiknas Muhamamad Nuh.

Dari keputusan MK diatas, masih ada UU serta PP yang masih berlaku dalam dunia pendidikan kita berpotensi merusak tatanan sistem pendidikan Nasional dan juga tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional seperti bermunculannya program SBI yang hanya didasari dengan nafsu untuk lepasnya sekolah (SMP-SMA) dari program BOS yang telah susah payah diprogram oleh pemerintah.

Standar Internasional yang di gembar-gembor pada RSBI-SBI adalah kurikulum Nasional untuk sekolah reguler yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Hanya para gurunya saja yang perlu disesuaikan dengan guru berstandard Internasional. Sebenarnya pemerintah tidak perlu bersusah payah membuat SBI, dapat dibayangkan kalau semua pengajar menggunakan komunikasi dalam bahasa Inggris sedangkan kita tau bagaimana amburadulnya kebanyakan guru dalam berbahasa Inggris. Kita dapat memastikan bahwa program SBI ini akan gagal dalam perjalanannya, karena program SBI ini tidak disangga dengan professionalisme guru yang baik. SBI hanya gagah-gagahan saja bagi suatu daerah sementara dengan alasan SBI para kepala sekolah bersama Komite Sekolah (yg selalu berpihak kpd kepala sekolah) dengan bebasnya membebani para orang tua murid dengan aneka-biaya yang cukup besar. Kebanyakan hasrat membuat SBI didaerah hanya untuk menghindar dari program pemerintah dengan program BOS-nya. Program BOS banyak tidak diminati para Kepala Sekolah karena duitnya sedikit belum lagi membuat laporan keuangannya. Kalau SBI-kan bisa bebas mengakali uang yg berasal dari program SBI-RSBI. Kami berharap agar Pemerintah dan DPR-RI segera meninjau kembali Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan SBI yang juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1. dan Pasal 31 UUD 1945.
Tingginya biaya sumbangan pembinaan pendidikan yang diterapkan untuk siswa rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI) dinilai tidak logis. Pemerintah juga diminta fokus pada peningkatan mutu pendidikan secara umum bukan hanya menjadikan siswa sekolah tersebut dipaksakan elitis. Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Zainuddin Maliki dan anggota DPRD Jatim, Kuswiyanto, secara terpisah, Selasa(29/9). Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Sahudi menyatakan alokasi anggaran dari Pemerintah Kota Surabaya untuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dicabut.
Karenanya, siswa RSBI harus membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan(SPP). Di SMA Negeri 15 SPP siswa RSBI mencapai Rp. 350.000,-, sedangkan di SMA Negeri 5 berkisar Rp. 500.000,- – Rp. 600.000,-. SPP ini dapat meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Menurut Sahudi, dinas juga mengajukan perubahan draf peraturan daerah Surabaya tentang sekolah gratis yang saat ini sudah berada di Biro Hukum Pemerintah Kota Surabaya. 

Zainuddin dan Kuswiyanto sepakat pembedaan fasilitas dan biaya pada siswa RSBI bisa membuat generasi muda ke depan dipaksakan elitis. Semestinya, kata Kuswiyanto, yang membedakan siswa RSBI dengan siswa reguler hanya pada pengantar Bahasa Inggris. Pelajaran Sains pada sekolah reguler juga mengikuti standar internasional. Kurikulumnya menggunakan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional atau dari lembaga pendidikan asing, seperti Cambridge.
“Kalau mengikuti kurikulum Cambridge, memang ada tambahan biaya registrasi 25 dollar AS setahun, kira-kira Rp 250.000.Tapi, tidak logis kalau biaya pendidikan RSBI dan reguler terpaut jauh. Sebab, faktor pendukung pendidikannya sama”, tutur Kuswiyanto.
Zainuddin juga menilai sekolah bertaraf internasional tidak signifikan untuk dijadikan proyek rintisan. Sebab, tidak semua siswa akan melanjutkan pendidikan di luar negeri. Karenanya, sebaiknya pemerintah fokus pada peningkatan mutu pendidikan reguler yang telah ada.

Perbaikan mutu pendidikan, menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu, memerlukan kepala sekolah yang kreativ, visioner dan memiliki cara serta arah yang jelas dalam memimpin sekolah. Perbaikan kompetensi dan profesionalitas guru jangan hanya mengejar kuota semata tanpa memperhatikan profesionalitas guru.
Saat ini, menurut Zainuddin, akibat sertifikasi dilakukan secara massal dan mengejar kuota, belum tentu guru yang sudah lulus sertifikasi sungguh profesional. Semestinya sertifikasi juga dilakukan secara alamiah. Guru yang sudah memenuhi syarat harus bisa disertifikasi secara otomatis tanpa menunggu kuota.
Pembukaan RSBI dihentikan di Yogyakarta.

Dinas pendidikan pemuda dan olahraga (Dikpora) DIY menghentikan sementara izin pembukaan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Kebijakan ini digulirkan Dikpora untuk memberi waktu sekolah melakukan evaluasi penyelenggaran RSBI selama tiga tahun terakhir. Sekolah selama penghentian sementara izin RSBI juga diminta meningkatkan kompetensi pendidikan, termasuk Bahasa Inggris.

Suwarsih Madya, Kepala Dikpora DIY menegaskan, sekolah RSBI harus menggunakan pelajaran berbahasa Inggris. Sehingga guru di sekolah tersebut dituntut memiliki kemampuan bahasa yang mumpuni. Tujuannya agar tidak salah memberi pengertian saat mengajar.

Pada kenyataannya, “Siswa di kelas bilingual (dua bahasa), para siswa kesulitan memahami pelajaran kimia dalam bahasa Indonesia, apalagi bila disampaikan dalam bahasa Inggris,” kata Suwarsih, Senin (19/10) lalu.

Demi meningkatkan kemampuan bahasa guru, lanjut dia, sekolah harus mendatangkan native speaker Inggris. Selain itu siswa juga dibiasakan mengakses informasi dari kantor berita yang berbahasa Inggris, seperti BBC atau ABC inikan sangat menyulitkan para siswa, dalam bahasa Indonesia saja masih banyak yang belum bisa memahami mata pelajaran, apalagi dipaksakan dalam bahasa Inggris. Suatu keanehan, SBI dipaksakan berjalan sementara para guru dan murid masih tahap belajar bahasa Inggris bagaimana mungkin bisa memahami pelajaran ? Kecuali akan menurunkan kemampuan para murid (para murid dikorbankan demi nama Internasional dan berbahasa Inggris yang tertatih-tatih serta pengorbanan biaya pendidikan yang besar dibebani kepada orang tua murid).

Suwarsih menilai, program RSBI di DIY terlalu tergesa digulirkan. Terlebih tidak ada program percontohan dan kajian intensif sebelum kebijakan ini diterapkan di sekolah.

“Evaluasi terbuka terhadap program ini belum dilaksanakan optimal pula,” paparnya menguraikan banyaknya kelemahan pelaksanaan RSBI selama ini. Suwarsih berharap pelaksanaan RSBI ke depan tidak hanya sekedar nama tanpa memperhatikan isi.

Kepala Sekolah SMPN 8 Jogja, Supardi mengaku, kompetensi bahasa Inggris menjadi persoalan utama program RSBI. Pelatihan bahasa ternyata tidak cukup efektif meningkatkan kemampuan guru dan peserta didik sekaligus.

“Prestasi siswa pun akhirnya menurun selama proses belajar mengajar,” jelas Supardi. Permasalahan umur, lanjut dia, cukup mengganggu program peningkatan kemampuan bahasa Inggris para guru. Kapan daerah lain juga pintar serta smart menyusul untuk mengevaluasi program SBI ini kearah penutupan ? (ASWP000)







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar