Rabu, 16 Juni 2010

Pendidikan Nasional Kembali ke Zaman Penjajahan Belanda


Kasta Baru Pendidikan

Media Indonesia, Senin, 31 Mei 2010

ADA kecenderungan warga kelas menengah ke atas kian tergila-gila untuk menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional. Akibat tingginya permintaan itu, sekolah-sekolah negeri pun sibuk mendirikan kelas-kelas berpredikat internasional.

Berbagai fasilitas pun disulap. Ada pendingin ruangan, komputer, serta laboratorium yang lengkap. Tak ketinggalan, pelajaran pun dikemas-poles dan disampaikan dalam bahasa Inggris.

Awalnya pihak swasta yang memprakarsai kelas dan sekolah internasional. Label 'internasional' itu sepenuhnya dibiayai orang tua murid. Di sini tak ada lagi pendidikan sebagai fungsi sosial, atau merupakan amanah Preambul Konstitusi, tetapi semata urusan dagang. Ada mutu ada harga.


Sekolah-sekolah negeri pun kemudian tertarik mengikuti rekannya yang swasta itu. Label 'internasional' pun ditambahkan pada sejumlah sekolah negeri.

Celakanya, persis seperti sekolah swasta, label 'internasional' sekolah negeri itu pun harus pula dibiayai sendiri oleh orang tua. Di titik ini, tak ada lagi perbedaan sekolah swasta dan sekolah negeri. Padahal, apa pun predikat dan label yang disandang sekolah negeri, ia mestinya sepenuhnya dibiayai negara.

Yang terjadi ialah banyak sekolah negeri yang memaksakan diri. Sekolah negeri hanya menyiapkan ruang kosong, sedangkan tersedianya fasilitas untuk mendapat label internasional menjadi kewajiban orang tua murid.

Akibatnya, sekolah negeri bertaraf internasional memungut biaya hingga Rp.28,5 juta per murid. Padahal, Kementerian Pendidikan Nasional telah mengalokasikan untuk setiap sekolah negeri berlabel internasional dana sebesar Rp.300 juta-Rp.500 juta/tahun.

Kita khawatir sekolah negeri bertaraf internasional hanya menambah lebar dan dalamnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Mahalnya biaya mengakibat-kan hanya anak-anak kalangan tertentu yang dapat menikmatinya. Anak-anak kelompok masyarakat miskin, tetapi cerdas, hanya menjadi penonton.

Sesungguhnya adalah kewajiban negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional terutama melalui sekolah negeri. Menghasilkan anak bangsa dengan kecerdasan yang bersaing di tingkat dunia jelas urusan dan tanggung jawab negara. Negaralah yang seharusnya dengan sadar menciptakan lebih banyak lagi sekolah negeri bertaraf internasional. Melemparkan kewajiban pembiayaannya kepada warga, jelas bukan contoh negara yang bertanggung jawab.
Konstitusi telah mematok anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Untuk tahun anggaran 2010 besarnya sekitar Rp. 209 triliun. Dari anggaran itulah seharusnya dialokasikan untuk membangun sekolah negeri bertaraf internasional secara bertahap.

Terus terang negara ini pada kenyataannya tidak memiliki politik pendidikan. Salah satu buktinya ialah terus dipertahankannya ujian nasional, tanpa memperbaiki sisi proses belajar dan mengajar. Daripada uang negara disia-siakan untuk membiayai ujian nasional, jauh lebih baik bila uang itu dipakai untuk memperbaiki proses pendidikan yang mengubah input menjadi output. Adalah kebodohan, berharap terjadi peningkatan mutu output tanpa memperbaiki proses konversi dari input menjadi output.

Membiarkan sekolah negeri sesukanya membuat sekolah internasional, dan serentak dengan itu menciptakan kasta dalam dunia pendidikan, juga bukti tersendiri bahwa negara tidak memiliki politik pendidikan yang adil.

Sangat memprihatinkan jika anak-anak dari keluarga miskin, tetapi cerdas akhirnya tergilas karena kemiskinannya. (000)

Komentar masyarakat terhadap SBI-RSBI :

Komersialisme dalam dunia pendidikan negeri seharusnya tidak terjadi. Pemerintah seharusnya dapat meningkatkan kualitas siswa sehingga output setelah mereka menempuh suatu jenjang pendidikan akan menambah kualifikasi pengetahuannya dan mandiri. Masalah sarana & prasarana memang menjadi salah satu faktor penunjang, tetapi lebih dari itu harusnya para pendidik juga berfokus pada hal lain yang juga penting, seperti masalah motivasi, akhlaqul qarimah, kreativitas, serta kemandirian hidup, demi lahirnya generasi tangguh bangsa kedepan.
Berita ini lebih memperjelas bahwa akronim SBI atau RSBI, "B"-nya telah diplesetkan menjadi "bertarif" dari pada "bertaraf" Internasional. Memang betul bahwa negara ini tidak memiliki politik pendidikan tetapi sepertinya lebih tepat bahwa birokrat dunia pendidikan telah mati nuraninya semuanya serba duit-duit.

 PELANGGARAN KONSTITUSI.
Memang sekolah jadi BHMN atau menyandang kelas International saya pikir ini pelanggaran kostitusi secara berjamaah. Semangat UUD 45 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan bukan mencerdaskan kehidupan orang mampu/kaya. Amit-amit negeri ini, rasanya sia-sia rela hidup dalam satu negara jika negara itu sendiri mendzalimi orang-orang pinggiran rakyat kebanyakan. Adanya Pemerintah dalam suatu Negara, adalah untuk meningkatkan kualitas pengetahuan seluruh rakyatnya sehingga rakyatnya yang pintar dan sejahtera  akan dapat memberi daya tangguh serta unggul bagi Negara dikemudian hari.

 BANYAK GURU TIDAK LAYAK BERGELAR PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
Guru di sekolah SBI tak lebih dari rentenir penghisap darah rakyat. Banyak rakyat miskin tidak mampu sekolahkan anak karena sekolah negeri diberi label SBI dan memungut uang semaunya. Untuk kualitas pendidikan, SBI hanya omong kosong..

HANCURNYA DUNIA PENDIDIKAN KITA.
Tidak penduduk India saja yang punya kasta, sekarang rakyat indonesia sudah punya kasta di bidang pendidikan. Kembali ke pemerintah, supaya pemerataan didunia pendidikan harus tercapai dan harus adil dan hapus sekolah yg bertaraf internasional itu. SBI-RSBI merupakan BOM-waktu kehancuran pendidikan Nasional.

KASTA BARU KEMBALI PADA ERA PENJAJAHAN BELANDA.
Di Indonesia banyak anak-anak yang pintar, tapi kurang/tidak mampu dalam keuangan, mereka juga ingin maju sampai sekolah yang berkualitas.
Apakah dengan keterbatasan dana akan menghapus anak2 pintar yang tidak mampu? Apakah tidak lebih baik jika sekolah-sekolah yang bertaraf internasional dihapus dan meningkatkan kualitas sekolah reguler yang sudah lama berjalan.

IRONI PENDIDIKAN DINEGERI TIKUS.
Pendidikan di Indonesia semakin menyedihkan dari sisi pemerataan kualitas pendidikan. Liberalisasi pendidikan semakin menjadi acuan,sudah menjadi rahasia umum perekrutan para pejabat pendidikan dari calon guru,calon kepala sekolah penuh dengan aroma KKN. Sekolah dipedalaman Papua nilai standar UNnya sama dengan di Jakarta,inilah pendidikan yang hanya mengejar angka,tanpa mau melihat proses.Tunggulah kehancurannya.
Sebaiknya SBI disekolah reguler dijadikan sekolah swasta saja agar pendidikan nasional yang masih mayoritas reguler menjadi sekolah negeri yang berkualitas. SBI hanya akal-akalan sekelompok maling di Kementerian Pendidikan bersama para Dinas di daerah. SBI merupakan proyek sebagai cara untuk keluar dari program BOS dan para kepala sekolah sangat senang karena banyaknya duit dari sumbangan para orang tua yang terbodohi dengan predikat Internasional. Dalam kurikulum berbahasa Indonesia saja pemahaman pelajaran belum tentu dapat diserap apalagi menggunakan bahasa Inggris. Paling lucunya, Guru masih belajar berbahasa Inggris murid juga masih belajar bahasa Inggris jadi bigungnisasi. Pembodohan baru di Indonesia kembali terjadi dizaman Globalisasi ini oleh para penentu pendidikan Nasional.

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/05/31/145984/70/13/Kasta-Baru-Pendidikan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar