Minggu, 29 November 2009

Bagi Semua Pihak di Pendidikan Terutama Pemerintah (Depdiknas)



Pendidikan Regular Gratis vs RSBI-SBI di Indonesia
Di Sarikan Oleh : Ashwin Pulungan

     Selalu dikatakan bahwa Pendidikan yang dilaksanakan tidak gratis saja kualitasnya sangat rendah apalagi pendidikan di gratiskan. Pendidikan gratis yang dilaksanakan Pemerintah dimaksudkan untuk merealisasikan UUD ’45 yang mewajibkan pendidikan bagi warga negaranya.
     Pendidikan adalah investasi masa depan. Kalau suatu Bangsa ingin memajukan, merubah kualifikasi bangsanya, maka pendidikanlah sebagai kunci jawabannya. Rakyat yang ada disuatu negara, bisa terdiri dari bersuku-suku bangsa dan rakyat adalah anak bangsa, maka pantaslah bila masing-masing anak bangsa mendapatkan pendidikan dari Negaranya. Anak bangsa inilah suatu saat yang akan membuat perubahan kemajuan dan mengangkat harkat martabat citra bangsanya.
     Suatu wilayah Negara memiliki potensi SDA (Sumber Daya Alam) bila memiliki SDM berkualitas, bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Pendapatan Negara dari beberapa potensi kemampuannya serta produktifitasnya, harus diutamakan untuk tujuan pembiayaan Pendidikan Nasional disamping pembiayaan sektor penting lainnya.

     Pendidikan gratis yang akan dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2010 wajib kita sambut dengan gembira, walaupun pada pelaksanaannya perlu pembenahan sektor pendidikan kita diberbagai bidang. Pendidikan gratis itu sebenarnya harus dilaksanakan secara berkualitas setara dengan pendidikan bertaraf Internasional sejak dari SD, SMP, SMA dan PT. Dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini, sudah harus dihilangkan apa yang kita dengar selama ini SBI (sekolah bertaraf Internasional) tren para kepala sekolah saat ini ada upaya keras untuk menghindar dari pendidikan gratis kearah SBI. SBI ini dijadikan pelarian untuk memeras para murid dan orang tua murid dengan predikat Internasional, padahal para gurunya kualifikasinya sangat lokal dan tidak bertaraf Internasional, kalau hanya bahasa pengantarnya berbahasa inggris, pantas kita tertawakan SBI ini. Dalam pelaksanaannya, SBI menemui berbagai kendala. Contoh: konsep yang tidak jelas, penguasaan bahasa Inggris bagi guru yang mengajar hard science (Kimia, Fisika, Biologi), dll. Kendala-kendala tersebut menambah panjang deretan masalah SBI yang ditemukan di beberapa daerah. SBI lebih terlihat sebagai program pemerintah yang ‘menghabiskan’ banyak dana padahal belum jelas output yang dihasilkan.





SBI adalah bentuk kejahatan terhadap program Pemerintah dan ini merupakan pembangkangan dan penggagal terhadap pendidikan nasional kita. Jadi bila telah dilaksanakan pendidikan gratis yang berkualitas, maka program SBI harus segera ditiadakan atau bagi sekolah yang sudah terlanjur menerapkan SBI dipisah saja dari sekolah Negeri sehingga SBI menjadi sekolah Swasta atau sekolah dengan predikat tersendiri terpisah dari sekolah Negeri.
     Pengembangan SBI didasari oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Sekolah bertaraf internasional (SBI) merupakan sekolah nasional dengan standar mutu internasional. Proses belajar mengajar di sekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. Mengapa konsep pikir ini tidak dilanjutkan pada sekolah reguler Nasional sehingga semua sekolah secara Nasional seragam kualifikasinya.                 
     SBI adalah proyek prestisius karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50 persen, Pemerintah Propinsi 30 persen, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Untuk setiap sekolah, Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut. Siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut, adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa di kelas akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Melihat pembiayaan yang dibiayai oleh Pemerintah, maka sekolah SBI ini harus gratis. Apabila ada manajemen sekolah yang menarik biaya kepada para murid, maka SBI seharusnya menjadi sekolah swasta saja, karena sekolah Pemerintah atau Negeri sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah.
     Potensi terjadi komersialisasi pendidikan tidak bisa dihambat. Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak sekali ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.

     Kita mempertanyakan bahwa, apakah sekolah-sekolah SBI yang kabarnya menggunakan standar internasional dan menarik uang masuk yang bervariasi dibeberapa daerah mulai dari Rp 30 juta hingga Rp 60 juta dan uang sekolah Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan, masih mengemban misi ingin mencerdaskan bangsa? Atau komersialisasi? Namun, fenomena baru yang muncul di masyarakat justru sekolah-sekolah seperti itu yang kini malah laku karena gensi kampungan para orang tua murid, yang pemicunya adalah Pemerintah didasari dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3.

Konsep SBI cenderung lebih utama menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup mereka di Indonesia.

Kebijakan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.

     Bila Pemerintah ingin meningkatkan kualifikasi pendidikan kita, tingkatkan saja sekolah reguler Negeri yang sudah ada sehingga menjadi benar-benar berstandar Internasional. Kita memandang dan menganalisis, bahwa program SBI ini adalah sebagai cara kotor dan licik sebagian para pejabat di Departemen Pendidikan yang disenangi mayoritas para kepala sekolah untuk mengikuti pola BHMN di PT dengan alasan kuno biaya Negara yang sangat terbatas. Secara jangka panjang, program SBI yang dimunculkan dalam sekolah Negeri ini akan menjadi rancu dan berpotensi menghancurkan pendidikan Nasional seperti BHMN, karena akan banyak anak bangsa yang tidak bisa bersekolah dengan kualifikasi Internasional karena para orang tua murid di bebani dengan biaya yang sangat besar dari para kepala sekolah.

    Pemerintah seharusnya meninjau kembali UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
termasuk Pasal 50 Ayat 3 dan merevisi UU tersebut menjadi sekolah gratis yang dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah. Sebaiknya Pemerintah melakukan pelbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan  pelbagai unsur/stakeholders pendidikan dan melakukan studi/penelitian mendalam sebelum kebijakan tersebut bergulir menjadi amburadul. Semoga anak didik kita kedepan sebagai manusia Indonesia yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. (xxx)

Kami tersenyum… agak masam membandingkan

dengan akuan RSBI kita selama ini.

Untuk dapat meresepsi tentang sekolah bertaraf internasional, kami Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM) melalang buana, untuk melihat lebih dalam tentang sekolah negeri dan swasta yang bertaraf internasional.

Sekolah yang kami kunjungi tersebut tidak mendeklarasikan sebagai SBI.

Sekolah yang sempat kami kunjungi adalah SMA Negeri 78 Jakarta, SMA Bina Insani Bogor, dan SMA Al Muthahari di Bandung. Tiga sekolah yang kami kunjungi itu mempunyai karakteristik yang unik, dan berprestasi. SMA Negeri 78 melaksanakan pendidikan komputer yang disertifikasi oleh 20 negara. SMA Bina Insani melaksanakan pendidikan sain yang berbasis Al Qur’an, dan SMA Al Muthahari mengintensifkan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar yang intensif.

Terakhir pada bulan Maret 2009 yang lalu, kami mengunjungi salah satu SMA di Singapura, yaitu River Valley High School, salah satu sekolah internasional yang mempunyai integrated programme prospectus.  Sekolah yang bertaraf internasional ini menggunakan dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Inggris dan Cina. Sekolah yang setara dengan SMA, yang mempunyai program integrasi (River Valey Integrated Programe/ RVIP) mempunyai masa waktu sekolah 5 (lima) tahun, yang dapat dibagi menjadi 7(tujuh) tahapan, yaitu :
Tahap 1: The Guiding Principle Of RVIP Teaching for Understanding RVIP Curriculum Framwork, yang mempunyai 3(tiga) program ASK, yaitu (1) Developing Habits of Mind (A); (2) Developing Thinking Skills (S); (3) Knowlegde Construction (K).
Tahap 2 : Construct, Integrate & Differentiate (CID). Program ini merupakan CID Learning Clusters, yang terdiri dari Aesthethics & Language Arts, Chinese, Humanities, Mathematics, Science & Technology.
Tahap 3 : CID Extended Learning, yaitu program Juniors Programme, Inovators Programme, Mathematics Programme, Explorers Programme.
Tahap 4 : Academic Programme Foundation, Eksploration, Consolidation, diantaranya adalah program-program Becultural Studies (Chinese) Programme, Language Arts (English) and Litereture, Singapore & Comparative Studies, Geography, History, Music. Visual Art.
Tahap 5 : Biomedical Science, Chemistry, Physics, Design & Technology & Computer Studies, Mathematics.
Tahap 6 : Student Development Programmes, yang terdiri dari CHAMPS programme, Aesthetics Programme : Art, Dance, Drama and Music, Global Perspective Programme, Conversational Malay & Culture Programme, Co-Curricular Programme. 
Tahap 7 : Admissions New School Building & Boom Lay. Visi dan Misi mereka (River Valley High School) sangat sederhana, namun yang dipentingkan adalah kedalaman ilmu yang dipelajarinya.
Di sekolah ini setiap siswa diberi peluang untuk memilih dan mendalami CID sesuai dengan minatnya. Sehingga anak dapat mengembangkan isi materi pelajaran secara optimal, dan terfokus.
 

Setelah kami mengintip beberapa sekolah yang bertaraf internasional, dimulai dari kota Malang, sampai di Singapura, sebetulnya sekolah-sekolah bertaraf international itu mempunyai keunggulan-keunggulan tersendiri. Sekolah bertaraf internasional mempunyai output yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi di mana saja, dengan jaminan bahwa para lulusannya adalah mempunyai kapasitas keilmuan dasar yang mumpuni. Artinya, dari segi kemampuan intelektualnya betul-betul mempunyai nilai yang bagus. Nilai bagus bukan bersifat lokal, tetapi bertaraf international, yaitu lulusannya betul-betul berkualitas.
Nah, pada akhirnya kami juga mendiskusikan sekolah milik IKIP MALANG, pada tahun 70-an, yaitu Sekolah Laboratorium IKIP MALANG, yang pengembangannya menjadi Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP). Sekolah Laboratorium IKIP MALANG pada saat itu mempunyai jenjang TK, SD, SMP, dan SMA yang satu atap, artinya lulusan TK Laboratorium IKIP MALANG, diterima secara otomastis di tingkat SD,SMP, dan SMA. Siswa juga diperbolehkan melanjutkan di sekolah lain sesuai dengan keinginan dan keperluannya. Sekolah PPSP pada saat itu menggunakan bahasa pengantar adalah Bahasa Indonesia. Tetapi pembelajaran di sekolah sangat efektif, dikarenakan hampir semua mata pelajaran menggunakan Modul, terkecuali Pendidikan Kesenian. Setiap siswa diberi peluang untuk melakukan akselerasi secara natural. Artinya setiap siswa yang telah menyeselasikan satu modul pada mata pelajaran tertentu dengan serapan nilai lebih dari 75 %, maka ia berhak untuk melanjutkan pada modul berikutnya. Sehingga PPSP IKIP MALANG telah menciptakan sistem pembelajaran yaitu continues progres. Karena setiap anak boleh melanjutkan ke modul berikutnya setelah menguasai materi lebih dari 75%, setiap anak dalam Ujian Akhir mesti lulus, dengan nilai yang bagus (minimal 75/7,5). Dari kondisi ini maka orang tua yang mensekolahkan anaknya ke PPSP, mereka tidak was-was pada saat anaknya mengikuti ujian nasional. Dengan keberhasilan sistem continues progres tersebut, setiap anak dalam menyelesaikan studi pada tingkatan tertentu.

Keluhan Para Guru tentang RSBI :
Pada kunjungan di sebuah sekolah (Rintisan SBI katanya) di Pare-Pare SulSel baru-baru ini.
Komentar guru-guru memang secara tulus. Antara lain, katanya, sebenarnya dengan situasi saat ini, mereka belum siap untuk menjadi sekolah rintisan (RSBI) seperti yang diharap. Para guru merasa bahwa mereka pada akhirnya harus mengajar in English. Ditambah kebijakan yg “irasionalkah namanya?” menjadikan guru yang jadi korban. Saya pun banyak menerima keluhan masalah penyampaian konten matematika (jadinya dalam bhs Indonesia), bagaimana lagi dalam bahasa Inggris.
Tantangan nyata pembelajaran matematika dalam bahasa Indonesia saja sudah cukup berat, gimana dalam bahasa Inggris.
Saya selalu tidak mengerti, kebijakan yang begitu membuang uang banyak dengan dampak negatif, kok diterima? kok dilakukan????? Atau mungkin sudah banyak dampak positifnya yah????? Atau kesenangan manipulatif dana tersalurkan.

Amburadulnya Realisasi RSBI dan SBI :
      Jadi kita boleh bereksperimen apa pun, dengan konsep yang sesalah apa pun, dengan hasil yang seamburadul apa pun, dengan korban sebesar apa pun, dengan kerusakan separah apa pun, asal yang penting ‘telah memikirkan kemajuan Indonesia’? Itu adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab.

Masalahnya bukan apakah bahasa Inggris itu penting atau tidak tapi BAGAIMANA mengajarkannya. Dengan memaksakan guru-guru bidang studi non-bahasa Inggris menggunakan bahasa Ingggris kacau balau di kelas bukannya akan membuat siswa menjadi mahir tapi justru bingung. Sesuatu itu kalau ditangani oleh yang bukan ahlinya pasti akan membuat kekacauan.

Siapa yang akan bertanggungjawab jika program ini gagal dan benar-benar justru membuat kualitas pendidikan di sekolah SBI merosot? Saya sudah tanyakan kemana-mana dan tak satu pun ada yang berani menyatakan berani bertanggungjawab atas konsep SBI jika gagal karena faktanya konsep ini memang amburadul.
Lagipula setiap orang bisa saja mengklaim dirinya ‘memikirkan kemajuan Indonesia’. Sejarahlah yang akan membuktikan nantinya. Sayang sekali bahwa itu sudah terlambat. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3 masih saja dipaksakan dijalankan.

RSBI-SBI Completely irrasional,
Merupaka pembohongan dan pembodohan sistimatis :
Konsep SBI yang digagas depdiknas ini mempunyai tingkat kesalahan yang gila-gilaan dan sangat susah sekali dipertanggungjawabkan setelah menghabiskan milyaran uang rakyat untuk memanjakan ide salah kaprah tersebut. Sampai-sampai gak habis pikir kami memikirkannya: Bagaimana mereka itu bisa lulus doktor dan dapat profesor padahal kemampuan membuat kesalahan begitu gila-gilaan? Pendek kata, setelah penggagasnya memperoleh dana milyaran rupiah, uang rakyat itu akan terbuang percuma dan SBI akan tinggal namanya saja, seperti kata Anda, biarlah sejarah yang membuktikan…. Mengenai tulisan Anda, mostly are on the proper track, tapi panjangnya minta ampun karena bisa disingkat menjadi sepertiga saja.
Marilah kita berpikir simple tentang SBI: Bisa mencapai nilai TOEFL 600, itu sudah masuk wilayah internasional. Tapi kalau math, biology, physics, chemistry, sociology sepertinya mereka tak punya alat uji seperti English? Apa saya yang tidak tahu mungkin? Terus gimana ngujinya?
Tapi yang pasti: Agama, PPKN, ORKES, B. Ind. B. Ing. Math, bio, fis, kim, sosio, antro, sejarah, geografi, ekonomi, akutansi, kesenian, TI, = 17 matpel tersebut dijejalkan dan dimasukkan ke otak anak didik tercinta kita, aduh betapa stress-nya mereka, alhasil: sampai kiamatpun tak akan pernah mencapai tingkat internasional, completely irrasional. Jadi yang namanya RSBI atau SBI itu adalah masuk wilayah pembohongan dan pembodohan sistimatis bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenapa Pak SBY tak pernah tahu ya Depdiknas ngawur ?

Pengakuan Alumni RSBI :
Saya adalah salah satu siswa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di tingkat SMP. Mungkin pemerintah memang belum siap menyelenggarakan program ini, karena bila saya tidak salah dengar, siswa-siswi RSBI masih akan menempuh ujian nasional. Kalau memang orientasinya ke kurikulum internasional seharusnya SBI menempuh ujian tersendiri. Beban kami akan lebih berat apabila harus menyelesaikan pelajaran ujian nasional yang tidak sesuai dengan kurikulum SBI.

Pengakuan Guru RSBI-SBI :
Apa yang tulis diatas adalah kenyataan di lapangan memang seperti itu, sy adalah salah satu guru IPA di skh rintisan SBI. melihat kenyataan bahwa dari sisi SDM belum memenuhi persyaratan yg diinginkan. mungkin solusinya perekrutan guru yg memenuhi syarat jd guru di kls SBI. namun demikian kita hanyalah pelaksana dari suatu program, jd yaa dijalani aja sambil belajar membiasakan menggunakan bhs inggris. kejadiannya tidak beda dg Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK). Waktu itu skh kami jg merupakan skh mini piloting KBK. Hasilnya, kurang memuaskan krn pelaksanaannya belum dipersiapkan dg matang, % soal UN nya relatif lebih sulit 50% dari soal skh yg reguler (bkn piloting). seiring dg itu kurikulum disempurnakan terus sekarang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sy berharap program SBI inipun disempurnakan terus sesuai dg pengalaman bahkan harus dari hasil penelitian di lapangan agar apa yg menjadi tujuan dari program ini tercapai sesuai tujuan, yaitu meningkatkan mutu pendidikan. pertamakali sy masuk kls,sy minta anak2 menuliskan alasan mengapa mereka masuk kls SBI bukan kls reguler. sy rekap alasan mereka :
1. karna ingin skh di luar negeri
2. karna fasilitasnya lebih baik
3. ingin berpotensi lebih dr yg lain
4. memperlancar bhs Inggris dan komputer
5. membuat bangga orang tua
6. bergaul dan berbaur dg dunia internasional
7. takut nilai UN kecil.
Walaupun sy tdk bisa bhs Inggris. melihat alasan2 mereka seperti itu mdh2an tercapai apa yg mereka inginkan, walaupun kenyataannya yg unggul dalam IT dan masuk seleksi Olimpiade tingkat sekolah adalah muncul dari anak2 kelas reguler. nah bgmn sekarang qt berusaha agar muncul anak2 yg lebih unggul dr sisi IT, bhs inggris dan kemampuan yg bertaraf internasional itu dari anak2 SBI. Bukankah mereka mengeluarkan biaya yg tdk sedikit utk itu??? Mari kita tingkatkan mutu pendidikan Indonesia dg cara apapun terutama dari proses pembelajarannya yaitu pembiasaan berfikir, bukan menghafal.

Pengamat Pendidikan Satria Dharma tentang SBI :
      Penyusun konsep SBI ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru kita di pelbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik sekalipun.
     Dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Tidak perlu terlalu cerdas untuk melihat betapa beresikonya program ini. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini berresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.
      Kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional. Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bhs Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya. Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meingkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris.

Investigasi Orang tua Murid terhadap RSBI-SBI :
SBI yang saya teliti di Jawa Barat, hanya sekolah SMP-SMA yang berbahasa pengantar Inggris itupun tidak sepenuhnya. Kualifikasi para gurunya sangat rendah dan tidak bertaraf Internasional. Saya heran, pendidikan menengah-atas kita untuk mencapai syandar Nasional saja belum mampu. Padahal kita ketahui bahwa Kurikulum Pendidikan Nasional kita selama ini sudah disetarakan dengan taraf Internasional, mengapa ada sekelompok orang yang tdk bertanggung jawab di sektor pendidikan kita mementahkannya, lalu membuat SBI. Atas dasar penelitian saya, SBI ini hanya ingin menghindar dari program Pemerintah dari pembiayaannya sehingga para Kepala Sekolah bisa mendapatkan dana cukup besar dari para murid dan terhindar dari pengawasan Pemerintah.SBI ini sebenarnya adalah sekolah swasta bersetatus Negeri. Sudah saja, SBI ini menjadi swasta saja terlepas dari setatus Negeri. Kalau pemerintah ingin konsekwen, sekolah reguler yang ada sekarang ditingkatkan kualifikasinya termasuk para gurunya sehingga setara dengan standar Internasional tentu dgn konsekwensi penambahan dana operasional dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Saya bersama yang lainnya menolak program SBI ini dan sebaiknya segera ditutup oleh Pemerintah atau SBI ini dijadikan SMP-SMA swasta saja yang terpisah jauh dari status sekolah Negeri.(000)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar