Sabtu, 12 Desember 2009

Kajian RSBI-SBI akan Gagal.



Kajian RSBI & SBI
UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3 (SISDIKNAS)
Disarikan : Oleh Ashwin Pulungan

Pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) berlandasan Hukum :
  1. UU No.20 Tahun 2003 Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
  1. Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.
1).      Pemerataan dan Perluasan Akses
2).      Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing. Salah satunya pembangunan sekolah bertaraf internasional untuk meningkatkan daya saing bangsa. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengembangkan SBI pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk mengembangkan SD, SMP, SMA, dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia.

 
Dalam hal ini, program SBI yang dilaksanakan pada setiap sekolah seharusnya sudah memenuhi dan melaksanakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.( Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan). Kenyataannya, dari RSBI-SBI yang terseok-seok perjalanannya, banyak yang belum mencapai Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.

Kajian : Pemerintah tidak percaya bahwa sistem pendidikan nasional yang selama ini berlangsung, bisa bersaing secara global dengan negara lain. Hal itu dibuktikan sendiri oleh pemerintah dengan kebijakannya yang justru mendorong bermunculannya sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang didukung biaya besar dengan konsep menajemen sekolah yang sangat tidak solid dan gamang.

Bahkan seorang praktisi pendidikan dari Inggris yang berjasa dan sukses membangun sebuah Sekolah Internasional di Jakarta dan di Singapura menyoal tajam niat pemerintah Indonesia mengacu standar pendidikannya ke standar bangsa barat demi sebuah kata Internasional, tanpa upaya mengembangkan dan memperbaiki sendiri model pendidikannya mencapai Standar Nasional Pendidikan (SNP). Persoalan itu muncul ketika dia melihat begitu maraknya kegairahan sekolah negeri mempromosikan dirinya menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan segala atributnya seperti : guru mengajar dalam bahasa Inggris, Apalagi ditambah dengan minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A. Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A, Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000. Kelas berpendingin ruangan sudah tentu tarif bersekolah yang selangit dan sangat senjang tak terjangkau kebanyakan warga. Sebuah media elektronik bahkan melaporkan bahwa murid di sebuah SMAN di Jakarta diminta membayar 24 Juta dalam setahun untuk mengikuti kelas Internasional tersebut.

Pemerintah seharusnya justru memperkuat sistem pendidikan nasional yang mampu membuat siswa senang belajar, percaya diri untuk bersaing, cerdas, dan humanis. Bukan sebaliknya, menciptakan sistem pendidikan yang berkelas-kelas yang akan menciptakan bom sosial di kemudian hari. HAR Tilaar mengatakan, yang mendasar justru perlu diciptakan sistem pendidikan nasional yang baik, yang bersumber dari kekuatan yang dimiliki bangsa ini. "Bukan kita menutup diri terhadap apa yang berbau asing atau internasional, tetapi SBI ciptaan pemerintah saat ini lebih sebagai pelarian karena tidak bisa membuat sistem pendidikan nasional yang menghasilkan peserta didik yang siap menghadapi tantangan zaman kedepan. SBI di sekolah negeri itu jadi tertutup, sempit hanya untuk orang pintar dan berduit," yang ada di Indonesia saat ini sebenarnya masih kelas bertaraf internasional. Itu pun dengan pengajar yang fokus untuk sibuk dengan kamusnya menerjemahkan bahan ajar ke dalam bahasa Inggris.

Gegap gempita SBI didorong oleh upaya gebyar Depdiknas memelopori berjalannya SBI dengan cara memilih dan menetapkan, serta mendanai berbagai sekolah favorit di seluruh nusantara sehingga menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan menganjurkan mereka untuk mencontoh pendidikan di kelompok negara ekonomi maju anggota OECD (Depdiknas, 2007). Namun timbul pertanyaan, apakah pendidikan bertaraf Internasional harus menjiplak cara negara lain yang memiliki latar dan akar budaya yang berbeda dengan akar budaya Indonesia, atau demi sebuah kerangka latah serta buta terpancing melaksanakan skenario ekonomi global, maka program pendidikan harus selaras dengan Kepres 76/77 yang memberi ruang 49% kepada modal asing untuk berdagang di sektor pendidikan ?

Penggunaan standar negara OECD menunjukkan indikasi kuat kebenaran dugaan bahwa impor pendidikan semakin memantapkan kecurigaan terjadinya liberalisasi pendidikan dan pendidikan sudah menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan.

Persaingan global yang semakin mencuat pada dekade ini membuat pemerintah melakukan langkah yang dapat dikatakan sangat tergesa-gesa. Bidang pendidikan kita yang condong pada pembelajaran multikultur membuat beberapa langkah pengupayaan kemajuan pendidikan menjadi kurang mengarah sehingga menjadi bias.

Indonesia dengan keberagaman sisi ekonomi, sosial, serta budaya memang perlu membuat langkah jitu dalam hal pendidikan, tidak serta merta langsung mengarah pada pengaruh dominasi luar negeri. Pandangan dan penilaian pendidikan luar negeri memang sudah sangat maju, yang perlu digaris bawah adalah kemajuan itu dilakukan dengan bertahap hingga mendapatkan finishing yang gemilang. Australia, Inggris, Amerika, dan beberapa Negara di Asia memiliki standar pendidikan maju, beberapa alasan diantaranya adalah Negara tersebut aktif dalam menciptakan globalisasi seperti pertumbuhan kemajuan ekonomi, penguasaan Iptek, dan penerapan aspek linguistic yang condong menerapkan bahasa dunia (bahasa inggris) sebagai  media penyampaian pesan.

Dari ketentuan tersebut masyarakat dapat mengamati terutama sisi kemampuan ekonomi tentang biaya yang dikeluarkan untuk mensukseskan SBI di Indonesia. Teknis pelaksanaan SBI sendiri masih terlihat gamblang mengambang salah satunya adalah penerapan pembelajaran model bilingual/menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Pada system ini pendidik diwajibkan untuk menggunakan bahasa Inggris dalam melakukan proses belajar mengajar (PBM), tentunya pendidik untuk SBI harus memiliki kompetensi cukup tinggi dalam menerapkan bahasa inggris pasif dan aktif kesehariannya.

Kompetensi ini memiliki standar khusus antara lain nilai TOEFL > 500, padahal seseorang yang nilai TOEFL nya > 500 belum tentu bisa menerapkan bahasa Inggris dalam memberikan pemahaman bidang pelajaran pada siswa. Penerapan bahasa inggris dalam ukuran yang membingungkan dalam SBI adalah tahun pertama guru menggunakan sekitar 75% bahasa Indonesia 25% bahasa Inggris, tahun kedua 50% bahasa Indonesia 50% bahasa Inggris, dan tahun ke tiga 75% bahasa Inggris 25% bahasa Indonesia, dari sini dapat dibayangkan pada tahun ketiga siswa yang tingkat bahasa Inggris nya kurang bahkan sangat kurang akan mengalami degradasi prestasi karena  sulit mencerna pembicaraan dari gurunya apalagi memahami makna pelajarannya.

SBI sendiri membutuhkan banyak dana dalam pelaksanaannya, biaya yang dikeluarkan sangat besar. Tercatat, untuk mensukseskan program ini ada dana tertentu yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat diantaranya Pemerintah pusat 50%, Propinsi 30%, dan Kota/Kab. 20%. Standarisasi prosentasi sendiri masih belum jelas karena tiap-tiap SBI tentunya memiliki kebijakan besaran dana yang tidak sama, misalnya SBI didaerah Malang akan berbeda dengan SBI di daerah Jakarta. SBI pada sekolah swasta akan berbeda pula besaran dananya, mengingat kucuran dari pemerintah mengalami seleksi khusus, jadi masyarakat yang tertarik dengan nama SBI dan itu pada sekolah swasta akan mengeluarkan dana besar, tentunya permasalahan ini akan kembali lagi pada mampu tidaknya seseorang untuk melanjutkan pendidikan, ironis sekali dengan pencanangan sekolah gratis yang diprogramkan pemerintah akhir-akhir ini dengan nama bantuan operasional sekolah (BOS).

Dalam hal standarisasi output, siswa SBI harusnya lebih memiliki education skill tinggi mengingat proses KBM didalamnya mengunggulkan pada program Sains dan matematik. Beberapa kemungkinan yang timbul juga sangat beragam, output SBI tidak semuanya memahami mata pelajaran yang ada. Dapat kita bayangkan gambaran kekecewaan ketika siswa SBI memiliki output sama dengan siswa regular atau normal. Proses kegiatan belajar mengajar (KBM) yang menggunakan bilingual konsep akan cenderung memiliki balance yang kurang jika salah satu substansi lemah, seperti siswa kurang bisa mencerna proses pemahaman dalam bahasa inggris atau terbalik guru yang kurang bisa menerapkan bahasa inggris saat mengajar.

Secara konsep, memang siswa SBI dirintis untuk menyamai kurikulum internasional seperti pada Cambridge atau International Baccalaureate (IB), dari sisi ini fungsional ketika siswa SBI sedikit menyamai Cambridge atau IB masih tanda tanya. Output SBI yang sudah ada akan diarahkan kemana nantinya, terutama ketika mereka akan menginjakkan pendidikan di Universitas. Konsep SBI secara tujuan dan visi memang sangat bagus, dimana siswa sudah terlatih untuk berkomunikasi secara global dengan bahasa Inggris. Siswa SBI juga memiliki pengalaman belajar yang sama dengan IB atau Cambridge. Menjamurnya SBI di Indonesia dapat ditakutkan akan menjadi lahan bisnis dalam dunia pendidikan dan kembali lagi masyarakat akan jadi korban pendidikan biaya tinggi yang masih coba-coba.

Titel taraf Internasional memberikan image tersendiri bagi masyarakat. Untuk apa dan siapa SBI ini juga masih menjadi polemik, karena siswa SBI didominasi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, selain itu siswa SBI hanya untuk siswa diatas rata-rata SNP. Output SBI juga masih samar terutama ketika siswa ingin melangkahkan pendidikan lanjutan. Pemerintah memang harus jeli dalam membuat kebijakan pendidikan agar peningkatan pendidikan di Indonesia melonjak, bukan berarti melonjak adalah mengikuti/menyamai luar negeri tapi mendongkrak masyarakat bawah yang sebelumnya awam pendidikan menjadi paham pendidikan. Program SBI sendiri perlu mendapat evaluasi agar fungsional dan untuk siapa SBI dicanangkan menjadi jelas.

Ada beberapa hal sebenarnya untuk menjadikan pendidikan di Indonesia maju tetapi secara sistematis dan konseptual. Sedikit ilustrasi, nama SBI yang sudah tercanangkan ini dapat diganti dengan program sekolah yang berbasis bilingual. Adanya English club atau pemusatan sekolah dengan melibatkan bahasa inggris akan lebih baik dari SBI. Ini dilihat dari proses SBI yang menekankan pada bahasa Inggris, tapi apakah pemahaman akan mata pelajaran juga meningkat. Hal lain adalah, nama SBI itu sedikit ”menyeramkan” karena masyarakat akan menilai SBI benar-benar seperti sekolah luar negeri, tapi ketika siswa luar negeri dihadapkan pada siswa SBI secara nyata akan terlihat perbedaan yang jauh. Dari sisi itu seharusnya siswa SBI memiliki kemampuan sama dengan siswa luar negeri, karena pemerintah juga berani menggunakan titel bertaraf internasional. Pemunculan SBI mengundang sedikit kontroversi terutama ketika dihadapkan pada multikultural di Indonesia.

RANCU MENAFSIR MAKNA SBI

Di tingkat konsep dan kebijakan sebetulnya RSBI belum matang dan solid, setiap otoritas setingkat Direktorat Jenderal (Ditjen) di Depdiknas masih menerbitkan panduan SBI sesuai tugas pokok dan fungsinya masing masing yang belum terpadu dan sinkron. Badan Penelitian dan Pengembangan ? (Balitbang) menerbitkan panduan isi kurikulum, Ditjen Penjaminan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) menerbitkan cara membina guru dan sebagai ujung tombaknya, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) menerbitkan panduan pengelolaan RSBI.

Bahkan di tingkat pelaksana, karena ketidaksolidan tersebut, kepala sekolah bebas menafsir RSBI sesuai persepsi masing masing. Ada kepala sekolah yang menafsir RSBI sebagai sekolah dengan ruang kelas ber pendingin ruangan, guru harus mengajar dengan komputer jinjing dilengkapi LCD proyektor, kursi berjok empuk dan ergonomik bahkan ada yang menafsirkan RSBI seperti Bus Malam Eksekutif,sebuah sekolah dengan toilet di dalam kelas .

Adapula tafsir yang bagus, RSBI adalah sekolah dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diajarkan dalam bahasa Inggris, dan beberapa sekolah yang terpilih sebagai RSBI mengadopsi kurikulum International General Certificate for Secondary Education (IGCSE) dan menyewa dosen yang mampu berbahasa Inggris menjadi guru.

Kurikulum berbahasa asing yang diajarkan dalam kelas RSBI diragukan berjalan efektif, karena pembelajaran dengan pengantar bahasa Indonesiapun, seringkali tidak dimengerti murid dengan baik. Lebih dari itu, interaksi yang dinamis antara murid dan guru dalam budaya sekolah di Indonesia belum terbentuk dan sebagian RSBI hanya menyelenggarakan kelas bertaraf internasional dengan pelayanan berlebih, sehingga melanggar kaidah kesetaraan pelayanan dalam pendidikan.

Satria Dharma mengatakan bahwa jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.

Pemaksaan Pelaksanaan SBI akan menyebabkan :

1. Potensi terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif dan Eksklusif.
                  Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskri-minatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).
Kebijakan pemerintah mengenai SBI selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat (3), dan juga - menurut Satria Dharma -, SBI merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.

2. Potensi terjadi komersialisasi pendidikan
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.

3. Kebijakan SBI bertolak belakang dgn otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.
Jika yang diharap dari RSBI adalah murid yang mengerti isi mata pelajaran, sekaligus trampil menggunakan Bahasa Inggris, maka RSBI harus mencari Guru yang selain mampu menguasai materi, juga terampil berbahasa Inggris, inilah bagian yang tersulit. Apatah mengajar dalam Inggris, Guru Bahasa Inggris saja masih banyak yang mengajar dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia.


RSBI adalah program yang “sudah pasti gagal”

RSBI adalah program yang “sudah pasti gagal” ujar seorang mantan Guru Senior di sebuah Sekolah Internasional. Jika pendapat Guru tersebut terbukti benar, maka RSBI hanya akan menambah rekor program pemerintah yang gagal dan tentu memboroskan anggaran pendidikan yang sebesar 224 Triliun di Tahun 2009 nanti, kata Ahmad Rizali;Ketua Dewan Pembina, The CBE-Jakarta, Ketua Klub Guru Jabodetabek, Alumni UI dan Strathclyde Business School-UK. (000)

Bandung 29 November 2009
Disarikan Oleh : Ashwin Pulungan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar